PENGADILAN AGAMA DAN PELUANG
SARJANA SYARI’AH 1
Oleh: Wahyu Widiana2 dan Rahmat Arijaya3
Pendahuluan
Saat ini posisi Pengadilan Agama
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
di Indonesia, sangat menggembirakan karena keberadaannya semakin kuat secara
konstitusional.4 Sejak lahirnya UU No. 3/ 2006,5 Pengadilan Agama memiliki
wewenang yang lebih luas. Dalam pasal 49 UU No. 3/2006 disebutkan bahwa Pengadilan agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g.infaq, h. shadaqah, dan i.
ekonomi syari'ah. Dalam penjelasan UU tersebut, "ekonomi syari'ah"
dijelaskan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut
prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah, b. lembaga keuangan
mikro syari'ah, c. asuransi syari'ah, d. reasuransi syari'ah, e. reksa dana
syari'ah, f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah
syari'ah, g. sekuritas syari'ah, h. pembiayaan syari'ah, i. pegadaian syari'ah, j. dana pensiun
lembaga keuangan syari'ah, dan k. bisnis syari'ah.
Dengan wewenangnya yang lebih luas ini, tentu
menjadi tantangan sendiri bagi hakim-hakim Pengadilan Agama untuk mampu
menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syari’ah yang diajukan ke Pengadilan
Agama. Tantangan yang sama juga sejatinya juga harus dihadapi oleh sarjana
Syari’ah yang memiliki minat berkarir di Pengadilan Agama.
Pada makalah ini, akan coba dipaparkan tentang kondisi terkini tentang Pengadilan
Agama. Paparan ini diharapkan dapat memberikan
gambaran bagi calon sarjana Syari’ah untuk mempersiapkan diri untuk
berkarir di Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama Saat Ini
Kemajuan Pengadilan Agama saat ini
sesungguhnya merupakan hasil sebuah perjuangan yang panjang dan cukup
melelahkan. Dalam sejarahnya Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Pasang
surut ini meliputi beberapa hal. Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan
dalam tatanan hukum dan peradilan nasional.
Kedua, berkaitan dengan susunan badan peradilan, yang mencakup hierarki
dan struktur organisasi pengadilan termasuk komponen sumber daya manusia di
dalamnya. Ketiga, berkenaan dengan
kewenangan pengadilan baik kewenangan mutlak (absolute competency) maupun
kekuasaan relatif (relative competency).
Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam
menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara.6
Banyak kalangan masih menganggap
Peradilan Agama bukanlah sesuatu yang penting
dilihat dari sistem bernegara secara keseluruhan. Peradilan Agama dianggap
tidak atau kurang penting dibandingkan dengan lingkungan badan peradilan yang
lain. Anggapan ini sesungguhnya hasil dari
kebijakan politik kolonial belanda yang memandang Peradilan Agama
sebagai ‘the necessary evil’, sesuatu yang tidak menyenangkan tetapi harus
diterima. Dasar politik ini, menurut Prof. Bagir Manan, berpengaruh pada
berbagai kebijakan praktis yang datang kemudian. Salah satu politik kolonial
tersebut adalah dengan menggerogoti kewenangan Peradilan Agama baik dilakukan
secara normatif maupun melalui ilmu pengetahuan dengan mengintrodusir hukum
adat dan kemudian disandingkannya dengan hukum Islam.
Politik hukum penguasa pun
sepertinya tidak lepas dari akibat politik hukum kolonial ini. Dalam kenyataan
di lapangan misalnya, apa yang dikatakan Daniel S. Lev bahwa “eksistensi
Peradilan Agama sangat bergantung dengan kemauan politik pemerintahan yang
berkuasa” menemukan pembenarannya. Dua disertasi Doktor (Nur Ahmad Fadhil
Lubis, 1994 dan Muhammad Farid, 2008) juga membenarkan analisis tersebut, meski
kemudian dibantah oleh Disertasi lainnya (Jaenal Aripin, 2009) yang dengan
teori Cultural Existence theory menegaskan
bahwa kokohnya keberadaan Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan
sosial dan budaya.
Saat ini Pengadilan Agama telah berhasil
membuktikan jati dirinya sebagai sebuah pengadilan yang patut diperhitungkan.
Pengadilan Agama telah merubah citranya sebagai sebuah pengadilan modern yang
menarik minat dunia internasional. Untuk
mendapatkan gambaran tentang “citra baru” Pengadilan Agama ini, uraian Cate
Sumber dan Prof. Tim Lindsey, menarik untuk ditampilkan. Ulasan
Cate Sumner dan Prof. Tim Lindsey
tentang Pengadilan Agama dalam buku mereka yang berjudul “Courting Reform: Indonesia’s Islamic
Courts and Justice for the Poor, merupakan hasil kajian yang mendalam.
Cate Sumner dan Prof. Tim Lindsey
berkesimpulan bahwa reformasi yang dilakukan oleh Pengadilan Agama sebuah
contoh yang positif bagi sistem hukum di Indonesia secara umum. Tidak hanya
itu, mereka juga menegaskan bahwa ia juga menjadi contoh bagi peradilan Islam
di dunia Islam.7 Kesimpulan Cate Sumner ini didasarkan dari hasil survey
tentang “Religious Courts Access and Equity Study 2007–2009” yang ia publikasi
pada tahun 2007 dan 2009. Salah satu temuan penting dari survey tersebut
menunjukkan adanya tingkat kepuasan yang tinggi dari pengguna Pengadilan Agama
yang mencapai 70 persen. Temuan Cate Sumner ini kemudian diperkuat oleh hasil
survey The Asia Foundation (2001), Peradilan Agama menjadi satu-satunya
institusi penegak hukum yang memiliki performance paling baik. Persepsi publik
mengungkapkan Peradilan Agama sebagai institusi yang trustworthy
dan does its job well nya paling tinggi. Dalam survey Cate Sumner juga
terungkap bahwa pengguna Pengadilan Agama menyatakan bahwa mereka akan kembali
ke Pengadilan Agama bila mereka menghadapi persoalan hokum keluarga
serupa.
Pengadian Agama telah berhasil mewujudkan
tranparansi informasi dan akuntabilitas publik. Hal ini dimulai sejak
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) mengkampanyekan
pentingnya teknologi informasi dalam mensupport tugas-tugas pokok Pengadilan
Agama. Pada tahun 2005, baik Badilag ataupun Pengadilan Agama di seluruh
Indonesia tidak memiliki website. Sekitar bulan Juni 2006, dengan websitenya www.badilag.net, Ditjen Badilag memulai “revolusi teknologi” di
seluruh Pengadilan Agama. Dalam waktu yang relatif sangat singkat, saat ini
seluruh Pengadilan Agama telah memiliki website, kecuali beberapa Pengadilan
Agama yang baru saja dibentuk.
Website Pengadilan Agama menyuguhkan informasi
yang sangat berguna tidak hanya bagi penggunanya tetapi juga bagi masyarakat
umum termasuk masyarakat internasional. Informasi yang disediakan antara lain
jadwal sidang, profile pengadilan, statistik perkara, prosedur beperkara,
putusan, transparansi anggaran, dan sebagainya.
Website Badilag sendiri merupakan sarana komunikasi interaktif bagi
seluruh warga peradilan agama. Seluruh program-program dan kebijakan baik yang
dikeluarkan oleh Badilag maupun Mahkamah Agung RI diinformasikan melalui
website Badilag.
Website ini telah berhasil membentuk
“information technology culture” bagi aparat peradilan agama. Hal ini dibuktikan dari banyaknya pengunjung dan pemberi
komentar pada setiap berita dan kebijakan yang ditampilkan di website. Website
ini dikunjungi hampir 10.000 orang
setiap harinya, termasuk seluruh warga peradilan agama.
Bagaimana Pengadilan Agama memberikan akses
yang luas bagi masyarakat terutama bagi wanita, anak-anak dan mereka tinggal di
daerah terpencil, juga menarik perhatian
dunia. Beberapa kali kesempatan Pengadilan Agama diundang untuk berbagi
pengalaman pada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh
International Association for Court Administration (IACA). Pada tahun 2009,
Pengadilan Agama diundang untuk mempresentasikan pelaksanaan program “access to
justice” dan “justice for the poor” di
Turkey. Pada konferensi IACA yang dibuka langsung oleh Presiden SBY di Bogor, Pengadilan
Agama juga diundang untuk berbagi pengalaman tentang hal yang sama.8
Pada acara “Dialog Pemikir Hukum dan Keadilan Australia-Pakistan” yang
diselenggarakan di Sydney pada bulan November 2011, Pengadilan Agama kembali
diundang untuk berbagi pengalaman tentang kemajuan-kemajuan yang telah dicapai.
Pada bulan Desember 2011, ulasan tentang kemajuan Pengadilan Agama juga hadir
pada Jurnal IACA.9
Citra Pengadilan Agama sebuah
sebuah pengadilan yang modern bukan isapan jempol belaka. Hampir seluruh
Pengadilan Agama saat ini telah menggunakan program aplikasi SIADPA. Ini adalah
sebuah program canggih untuk administrasi perkara. Program ini merupakan bentuk
komputerisasi Pola Pembinaan dan
Pengendalian Administrasi Perkara (Pola Bindalmin) yang sebelumnya dilakukan secara manual.
Saat ini Badilag telah mengembangkan SIADPA Plus yang telah berbasis web
sebagai pengembangan SIADPA yang berbasis desktop. Untuk menunjang program ini,
Badilag telah membuat sebuah LABORATORIUM
yang dapat digunakan untuk pengembangan program, konsultasi dan juga
sebagai monitoring pelaksanaannya SIADPA di daerah.
Saat ini SIADPA menjadi model
untuk mengimplementasikan program administrasi perkara di lingkungan peradilan
yang lain. Sesungguhnya SIADPA ini sama canggihnya dengan Casetrack
yang digunakan oleh Family Court of Australia, sebuah pengadilan di
sebuah negara relatif lebih modern dibandingkan Indonesia.
Peluang dan Tantangan Sarjana Syari’ah
Anggapan bahwa peluang karir alumni Fakultas
Syari’ah suram, tidak cerah, dan tidak menggairahkan, harusnya dibuang
jauh-jauh. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa alumni Fakultas Syari’ah
memiliki masa depan yang sangat cerah di Pengadilan Agama baik sebagai calon
hakim ataupun Panitera
Pengganti. Selain itu, sarjana
Syari’ah memiliki harapan besar berkarir sebagai advokat syari’ah yang saat ini
sangat dibutuhkan.
Menjadi Calon Hakim
Dalam UU No. 50 Tahun 2009,
sarjana Syari’ah berpeluang sangat besar menjadi calon hakim di Pengadilan
Agama. Pada pasal 13 ayat (1) disebutkan
bahwa untuk dapat diangkat sebagai hakim
pengadilan agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
d. Setia kepada Pancasila dan UUD Negara RI 1945
e. Sarjana Syariah, Sarjana Hukum Islam atau
Sarjana Hukum yang mengetahui Hukum Islam
f. Lulus Pendidikan Hakim
g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban
h. Berwibawa, jujur, adil dan tidak berkelakuan
tercela
i. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling
tinggi 40 tahun
j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena
melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Sebelum tahun 2004, sebagian besar hakim
Pengadilan Agama direkrut dari UIN terkemuka di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan
Jakarta. Kedua kampus ini dicirikan sebagai kampus yang lebih mengutamakan syari’ah moderat atau syari’ah
versi Indonesia. Fakta menariknya,
peningkatan rekrutmen hakim Pengadilan Agama setelah tahun 2004 telah merubah
konstelasi institusi-institusi pendidikan tinggi Islam yang menyumbang hakim
Pengadilan Agama. Menurut David Keith Linan, staf Mahkamah Agung yang
membidangi Pengadilan Agama diperkirakan hanya sekitar 45% dari hakim-hakim
junior Pengadilan Agama saat ini direkrut dari UIN-UIN terkemuka di Indonesia,
selebihnya berasal dari IAIN-IAIN yang relatif
baru berdiri, kurang prestisius, dan cenderung kurang moderat, serta
lebih berpedoman pada fikih klasik (cenderung menginterpretasikan hukum Islam
secara tekstual dari pada modern dan etik).
Rekrutmen hakim Pengadilan Agama meningkat
semakin pesat setelah berlakunya UU No. 4 Tahun 2004, yang mengalihkan
kewenangan terkait hakim Pengadilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah
Agung.
Bertambahnya jumlah kasus yang diajukan ke Pengadilan Agama juga memberikan
kontribusi terhadap peningkatan rekrutmen tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak
hakim Pengadilan Agama yang direkrut dari pada hakim non-Pengadilan Agama
(sektiar 100-125 pertahun).
Mahkamah Agung sendiri telah memulai rekrutmen
calon hakim dari mereka yang “fresh graduate” sejak tahun 2004. Saat ini telah
ada 7 angkatan dari sistem rekrutmen model ini. Hanya saja, ternyata minat
menjadi hakim agama dari sarjana Syari’ah relatif masih kurang. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Komisi
Hukum Nasional menunjukkan bahwa kebanyakan sarjana Syari’ah yang berkualitas
tidak berminat menjadi hakim. Beberapa alasan yang ditemukan antara lain karena
pertimbangan gaji yang tidak besar. Bila dibandingkan dengan profesi notasis,
pengacara, gaji hakim dipandang kurang menjanjikan.
Pertimbangan lain adalah faktor
substantif, profesi hakim dipandang sebagai profesi yang berat dan juga
persoalan kemungkinan penugasan/penempatan calon hakim di daerah terpencil.
Pertimbangan faktor persaingan yang ketat juga menyurutkan minat sarjana
Syari’ah.
Padahal, Pengadilan Agama di masa-masa yang akan datang sangat membutuhkan
sarjana Syari’ah yang berkualitas. Hal
ini dikarenakan sarjana Syari’ah lah yang sangat tepat untuk berkarir menjadi
hakim di Pengadilan Agama. Mata kuliah yang diberikan di Fakultas Syari’ah
memiliki relevansi yang sangat tinggi dengan riil pekerjaan hakim agama dalam
memutus perkara di antara orang-orang yang beragama Islam. Selain itu, kemajuan-kemajuan yang diraih
Pengadilan Agama saat ini harus tetap dilanjutkan oleh generasi-generasi muda
yang berkualitas.
Berbeda dengan sistem penerimaan
pada calon hakim peradilan lainnya, calon hakim peradilan agama harus mengikuti
test membaca “kitab kuning” sebagai salah satu syarat kelulusannya. Syarat bisa membaca “kitab kuning” ini sebenarnya
merupakan sebuah peluang yang “ekslusif” bagi
sarjana syariah untuk berkiprah di Pengadilan Agama. Kebanyakan
mahasiswa syari’ah berlatar belakang pesantren ataupun sekolah Aliyah yang
telah familiar dengan bahasa Arab dan juga membaca kitab-kitab kuning. Ini
kemudian diperkuat dengan buku-buku literatur yang diajarkan di UIN ataupun
IAIN.
Sarjana Syariah bisa dikatakan
sebagai sumber bahan baku
utama dari SDM Peradilan Agama.
Memang terdapat kalimat dalam UU yang yang membolehkan calon hakim pengadilan
agama yang berasal dari sarjana hukum dengan syarat menguasai hukum Islam. Untuk saat ini, sarjana hukum umum masih
sangat jarang yang menguasai hukum Islam apalagi menguasai “kitab kuning”. Akan
menjadi sangat ironis ketika sarjana
syari’ah dalam penguasaan hukum Islam dan baca kitabnya kalah oleh sarjana
hukum karena, misalnya, mereka tinggal di pesantren. Kekhawatiran ini dalam
beberapa kasus memang sudah mulai terjadi.
Penguasaan akan hukum acara dan
hukum perdata yang lemah juga menjadi tantangan serius bagi sarjana syari’ah.
Untuk mengatasi masalah ini, seharusnya mahasiswa syari’ah harus mendapatkan
porsi perkuliahan yang cukup mendalam di kampus. Selain itu, mahasiswa bisa
juga secara mandiri atau otodidak membaca buku-buku tentang hukum acara dan
hukum perdata tanpa bergantung pada perkuliahan di kampus.
Menjadi Advokat Syari’ah
Sarjana Syari’ah sesungguhnya
memiliki harapan yang cerah berkarir sebagai advokat syari’ah. Hal ini
disebabkan karena kebutuhan akan jasa advokat semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Selain itu, perkembangan terbaru menunjukkan
bahwa undang-undang membuka peluang itu. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 2 ayat (1)
menyebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang
berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Dalam
penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah,
perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Pada awalnya, persoalan sarjana Syari’ah
memungkinkan menjadi advokat menjadi polemik yang luar biasa. Hal ini
disebabkan adanya persepsi bahwa sarjana syari’ah bukan sarjana hukum, yang
kemampuan dan kompetensi masih diragukan sebagai ahli hukum. Namun seiring
dengan dinamika demokratisasi yang ada di Indonesia peluang tersebut sekaligus
sebagai tantangan bagi sarjana syari’ah untuk membuktikan kompetensinya dalam
bidang hukum nasional maupun hukum Islam yang menjadi kompetensi atau core
bisnisnya.
UU No. 18/2003 tersebut menjadi
dasar yuridis bagi sarjana syari’ah
untuk memperoleh peluang yang sama dengan sarjana hukum umum untuk menjadi advokat
yang memiliki kewenangan litigasi di seluruh lingkungan peradilan.
Hal ini tentunya sangat berbeda
dengan SEMA No. 1 Tahun 1998 tertanggal 2 September 1998 yang membuka
kesempatan bagi sarjana syariah untuk menjadi pengacara praktek khusus untuk
lingkungan Peradilan Agama. Meski dalam prakteknya pengacara Syari’ah, dapat
berpraktek di semua lingkungan peradilan karena kartu yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Tinggi tidak dibedakan dengan pengacara sarjana hukum, dan materi
ujiannyapun sama antara pengacara Syari’ah dengan pengacara sarjana hukum.
Peran sarjana syariah sebenarnya sangat berguna dalam mengisi kekosongan advokat syariah yang
fokus pada keahlian dalam hukum-hukum syari’ah. Apalagi dengan system ekonomi
syari’ah yang semakin populer di mata publik Indonesia membawa perluasan
kompetensi Peradilan Agama menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah.
Pengacara Syari’ah akan menjadi
alternatif sebagai Advokat yang dipercaya oleh masyarakat/klien, setelah kini
ada kecenderungan masyarakat kurang percaya dan bahkan kurang respek terhadap
sepak terjang advokat yang kini dianggap sebagai penyebab keterpurukan
penegakkan hukum (law enforcement) di Indonesia.
Dengan gelar Sarjana Hukum Indonesia yang memiliki dimensi religius dan
nilai-nilai moral, akan menjadi modal yang cukup signifikan.
Legitimasi terhadap kredibilitas
Advokat Syari’ah ini bukanlah mengada-ada, tetapi berdasarkan pengalaman
empiris di lapangan. Sebagai pembanding Hakim Peradilan Agama yang hampir
seluruhnya berlatar belakang sarjana Syari’ah kini telah memperoleh stigma
positif sebagai hakim yang bersih dari KKN.14
Memang harus diakui bahwa ada
beberapa tantangan berat yang harus dihadapi oleh sarjana Syari’ah untuk
memasuki dunia profesi advokat. Tantangan tersebut disebabkan faktor internal
dan eksternal. Pada faktor internal, terutama terletak pada kurang percaya diri
dan keberanian untuk menjadi advokat. Padahal, modal utama menjadi advokat
sebetulnya hanya terletak pada kemauan dan keberanian. Sementara pengetahuan
hukum dan teknis beracara dapat dipelajari secara autodidak dan pengalaman
praktek di lapangan. Hal penting lainnya
yang termasuk tantangan/kelemahan internal adalah terletak pada pendidikan tinggi
syari’ah, yakni pada aspek kurikulum. Perlu ada reformulasi kurikulum Fakultas
Syari’ah dengan beberapa acuan pokok sebagai berikut:
a) Nomenklatur
Fakultas Syari’ah dan jurusan/program studi perlu diganti dengan istilah
yang lebih populis.
b) Tujuan dan indikator kompetensi lulusan dari
kurikulum tersebut hendaknya diarahkan pada penyiapan sarjana yang siap bekerja
di lembaga-lembaga hukum, termasuk menjadi advokat, yang dalam dataran teknis
dan praktisnya dengan cara menambah mata kuliahmata kuliah ilmu hukum dan
kemahiran hukum.
Faktor eksternal berupa
kurangnya tingkat apresiasi terhadap ilmu syari’ah sebagai ilmu hukum
terutama dari kalangan ahli dan praktisi hukum. Tantangan ini mendesak untuk
dijawab oleh ilmuwan syari’ah dalam tataran konsep teoritis dan oleh advokat
syari’ah dalam penegakan hukum di pengadilan.15
Walaupun peluang menjadi advokat sangat besar,
ternyata peluang ini tampaknya masih disia-siakan oleh sarjana Syari’ah.
Pada tahun 2007, empat tahun setelah lahirnya UU No. 18/2003, dari 1.137 calon advokat yang dinyatakan
lulus verifikasi oleh PERADI, hanya 7 orang yang berasal dari sarjana Syari’ah.
Hasanudin Nasution yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Sekjen PERADI
berasumsi bahwa minat sarjana Syari’ah sangat kurang menjadi advokat. Selain
itu, ia juga mengungkapkan bahwa kemampuan sarjana syariah tentang hukum acara
masih di bawah sarjana hukum. Tak lain, karena materi perkuliahan tentang hukum
acara di Fakultas Syariah sangat terbatas.16
Asumsi Hasanuddin Nasution ini sempat dibantah
oleh Nurkhoirin, yang ketika itu menjabat Sekjen Assosiasi Pengacara Syariah
Indonesia (APSI),. Menurutnya, lulusan Fakultas Syariah punya minat yang tinggi
untuk jadi advokat, meskipun prosentasenya memang kecil dibanding lulusan
Fakultas Hukum. Belakangan, sejumlah perguruan tinggi Islam juga menambah
materi tentang hukum acara.
Kendala utamanya, menurut
Nurkhoirin adalah mahalnya biaya PKPA yang mencapai Rp 5 juta atau Rp 3 juta di daerah dan biaya ujian advokat
sebesar Rp700.000. Selain itu adalah tingginya passing grade yang dipatok
PERADI, yakni mencapai 6,5 sampai 7.17
Menjadi Panitera Pengganti dan Jurusita
Selain menjadi hakim agama dan advokat,
sarjana syari’ah memungkinkan untuk berkarir menjadi Panitera Pengganti dan
Jurusita di Pengadilan Agama.
Pada tahun 2010, Mahkamah Agung
RI dengan suratnya nomor 011/Bua.2/F.001/IX/2010 yang dikeluarkan oleh
Sekretaris MA, Drs. H.M. Rum Nessa, SH, MH mengumumkan perekrutan Calon Hakim
dan Pegawai Negeri Sipil. Jumlah
penerimaan untuk PNS sebesar 1.178 orang terbilang besar dibandingkan Calon
Hakim Agama yang berjumlah hanya 75
orang. Untuk berkarir sebagai Panitera
Pengganti dan Jurusita disyaratkan memiliki ijazah S1 hukum Islam atau ijazah
S1 hukum umum yang menguasai hukum Islam.
Menjadi Mediator di Pengadilan Agama
Mahkamah Agung RI sangat memahami
bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah. Selain itu, mediasi dipercaya lebih dapat memberikan akses
keadilan yang lebih besar kepada para pihak dalam menemukan penyelesaian
senketa yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi ke
dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif
mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga non-pradilan untuk penyelesaian sengketa di
samping proses pengadilan yang bersifat memutus (Ajudikatif).
Terbitnya Perma No. 1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan suatu yang positif untuk membantu
masyarakat, advokat, dan hakim untuk lebih memahami mediasi. Perma ini juga
memberikan peluang yang besar bagi sarjana Syari’ah untuk dapat berkarir
sebagai mediator di Pengadilan Agama. Dalam pasal 5 Perma tersebut disebutkan
bahwa setiap orang yang menjalankan fungsi sebagai mediator pada asasnya wajib
memiliki sertifikat mediator. Sertifikasi tersebut diperoleh setelah mengikuti
pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi
dari Mahkamah Agung.
Keberadaan mediator yang berasal dari advokat,
akademisi hukum, paralegal ataupun profesi selain hukum yang bersertifikat,
masih sangat kurang. Karenanya, saat ini, menurut pasal 9 ayat (3) Perma
tersebut, apabila pada wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator
yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat
ditempatkan dalam daftar mediator.
Menjadi Petugas Posbakum
Mahkamah Agung memberikan
perhatian serius terhadap peningkatan akses masyarakat terhadap keadilan.
Keseriusan tampak sangat ketara dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Mahkamah
Agung 2010-2035.
Untuk mengejewantahkan Cetak Biru tersebut,
Mahkamah Agung menargetkan dalam lima tahun ke depan agar masyarakat
mendapatkan akses yang lebih luas atas keadilan. Beberapa program-program
pendukung, seperti keterbukaan informasi, keringanan biaya perkara bagi
masyarakat miskin dan marginal, bantuan hukum dan program-program lainnya terus
ditingkatkan pelaksanaannya.
Mahkamah Agung memandang pembaruan dan perubahan
peradilan akan lebih bermakna apabila hasilnya dapat diakses oleh seluruh
lapisan kelompok masyarakat. Selama ini akses terhadap keadilan merupakan
masalah bagi banyak pengadilan di seluruh dunia, khususnya bagi kelompok miskin
dan marginal.
Pada tahun 2010, Mahkamah Agung
mengeluarkan kebijakan yang signifikan berupa penerbitan Surat Edaran Nomor 10
Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Surat Edaran ini kemudian
ditindaklanjuti dengan serangkaian penyempurnaan kebijakan dan proses.
Khusus di lingkungan peradilan agama, Posbakum
pada Mahkamah Syar’iyah dimungkinkan untuk menyediakan layanan pendampingan
khusus dalam perkara jinayat. Adapun jenis jasa hukum yang diberikan pada
Posbakum di pengadilan agama adalah pemberian informasi, konsultasi, advis dan
pembuatan surat gugatan/permohonan.
Khusus untuk perkara jinayah di mahkamah syar’iyah, seperti halnya di
pengadilan negeri, dimungkinkan juga penyediaan advokat pendamping secara
cuma-cuma untuk membela penerima jasa bantuan hukum di persidangan.18
Sedangkan pemberi jasa bantuan hukum yang bertugas di Posbakum
adalah pihak luar pengadilan (advokat, sarjana hukum dan sarjana syari’ah) yang
berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur asosiasi profesi advokat, perguruan
tinggi dan LSM yang terikat dengan nota kesepahaman oleh pengadilan-pengadilan
agama setempat.
Pelaksanaan posbakum pada tahun 2011, terdapat 61 lembaga dengan 220 petugas yang
bertindak sebagai pemberi jasa bantuan hukum di lingkungan peradilan agama yang
sebagian lembaga tersebut antara lain YLBHI, LBH, PERADI, KAI, IKADIN dan
sebagainya.
Kehadiran Posbakum di Pengadilan Agama juga
menjadi lahan karir yang cerah bagi sarjana syari’ah. Secara berangsur-angsur, Posbakum akan
terbentuk di seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Ini berarti Posbakum
membutuhkan petugas yang lebih banyak dari yang telah ada saat ini.
Kesimpulan
Walaupun peluang karir bagi
sarjana syari’ah cukup cerah, sarjana syari’ah diharapkan juga mampu menghadapi
berbagai tantangan persaingan yang cukup ketat di masa yang akan datang.
Sarjana Fakultas Syariah adalah sumber utama hakim agama. Dengan demikian
sarjana syari’ah harus siap untuk memikul tanggungjawab akademis yang berat
dalam menyiapkan keluaran pendidikan yang
qualified. Apalagi, sejak berlakunya UU No. 3 tahun 2006 sebagai
perubahan atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bidang garap
peradilan agama semakin meluas.
Kemampuan dan skill seperti teknologi informasi yang saat ini telah maju
digalakkan di peradilan agama harus juga dikuasai oleh sarjana syari’ah.
Sejatinya ketika alumni syari’ah berkarir di
Pengadilan Agama, mereka tidak merasa
seperti memasuki dunia yang baru. Dunia peradilan seharusnya menjadi tempat
yang familiar untuk kelanjutan
mempraktikkan bekal teoritis yang diperoleh di bangku kuliah. Di sinilah
keberhasilan Fakultas Syariah tidak cukup diukur dari seberapa banyak alumninya
yang menjadi hakim atau advokat.
Karena tanggungjawab Fakultas
Syariah tidak mengenal batas, ia juga berhak memberikan kritik, melakukan
kajian-kajian dan rekomendasi jika di kemudian hari alumninya terbukti
menyimpang atau tidak konsisten dalam menakar timbangan keadilan. (raj).
Catatan Kaki :
1
Makalah dipresentasi pada Seminar Nasional dengan tema “Menggagas
Persaingan Output Fakultas Syari’ah Dalam Kancah Nasional”, diselenggarakan
oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan al-Ahwal al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, pada
tanggal 25 April 2012, di UIN Yogyakarta.
2 Direktur Jenderal Badan
Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI.
3 Staf Khusus Dirjen Badilag
Urusan Kerjasama Luar Negeri
4
Dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama
6 Cik
Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1997.
7 Cate Sumner and Tim Lindsey,
Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice for the Poor (New South
Wales: Lowy Institute, 2010), hlm. xviii. 4
8http://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-pak-dirjen/9399-kado-tahun-baru-2012-untuk-peradilan-agama-3012012.html
9
http://www.iaca.ws/ijca-vol.-4-no.-1.html
10http://badilag.mahkamahagung.go.id/pojok-pak-dirjen/10528-laboratorium-siadpa-
plus-satu-satunya-di-dunia-1004.html
6
11 David Keith Linan, Catatan Terhadap Rekrutmen Hakim di Indonesia
Periode 2002-2009, Mimbar Hukum Vol. 23, No. 3, Oktober 2011, hlm.439. 7
12 Ibid., hlm.438.
13 Komisi Hukum Nasional, Laporan Akhir: Rekruitmen dan Karir di Bidang
Peradilang, disusun oleh Kelompok Kerja A.2, Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakara, 2003, hlm. viii
14 Yusdani, Posisi Tawar Sarjana
Syari’ah Menurut Uu Advokat, Al-Mawarid Edisi XII Tahun 2004, hlm. 81.
15 Ibid., hlm. 82. 11
16
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17192/tragis-hanya-tujuh-sarjana-syariah-yang-lolos
17 Ibid. 12
18 Silahkan baca SEMA No. 10
Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum 14
MAKALAH VERSI PDF KLIK DISINI
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar