Kajian Tentang Imanan wa Ihtisaban Dalam Hadits Man Shama Ramadhana
Oleh : Ibrahim Ahmad Harun
وَحَدَّثَنِى زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنِى أَبِى عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ».
Shahih Muslim hadits No 1817 dan Shahih Bukhari Hadits No. 1910 dalam Maktabah Syamilah.
Ma’na Hadits
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu, Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.
Kandungan Hadits :
Dalam hadits ini ada dua kata kunci untuk mendapatkan keutamaan bagi orang yang melaksanakan Ibadah pada bulan Ramadhan Khususnya bahkan ibadah pada umumnya, dua kata kunci itu adalah kata (إِيمَانًا ) dan kata (احْتِسَابًا ).
Kata (إِيمَانًا ) berasal dari kata (امن – يؤمن - ايمانا) yang berarti percaya. Adapun menurut Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari bahwa yang dimaksud dengan (إِيمَانًا) adalah (الاعتقاد بحق فرضية صومه ) yaitu adanya keyakinan dengan kebenaran kewajiban puasa padanya. (Fathul Baari Juz 4 h. 155 dalam Maktabah Syamilah)
Dengan demikian yang dimaksud dengan (إِيمَانًا) disini adalah bahwa dalam melaksanakan ibadah harus didasari atas keimanan dalam hal ini keyakinan atas kebenaran ibadah yang dilaksanakan adalah atas perintah Allah dan rasul-Nya.
Firman Allah swt. Dalam al-Quran surah an-Nahl ayat 97 sbb :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Nahl: 97)
Adapun kata (احْتِسَابًا) berasal dari kata (حسب – يحسب - حسبانا ) huruf sin berkasrah berarti menyangka, mengira atau mengharap, dan menurut pengertian ini yang populer dalam mayarakat yaitu mengharap pahala dari Allah swt.
Kata (احْتِسَابًا) juga berasal dari kata ( حسب – يحسب - حسابا ) huruf sin berfathah yang berarti menghitung, sehingga menurut pengertian ini ibadah harus dilaksanakan dengan muhasabah atau evaluatif yaitu dengan penuh perhitungan.
Adapun menurut Ibnu Hajar dalam kitan Fathul Bari bahwa yang dimaksud dengan (احْتِسَابًا) adalah (طلب الثواب من الله تعالى)yaitu memohon pahala dari Allah SWT. Sedangkan menurut Al-Khattabi bahwa (احْتِسَابًا) adalah (عزيمة) yang secara lughawi berma’na “kemauan yang teguh/kuat, atau (أن يصومه على معنى الرغبة في ثوابه طيبة نفسه بذلك غير مستثقل لصيامه ولا مستطيل لأيامه) yaitu dia berpuasa dengan mengharap pahalanya dengan memperhatikan kebaikan bagi dirinya tanpa memberatkan pada puasanya dan tidak pula memperpanjang hari-harinya." (Fathul Baari Juz 4 h. 155 dalam Maktabah Syamilah)
Jadi yang dimaksud dengan (احْتِسَابًا) adalah dalam beribadah selalu mengharap pahala dari Allah swt dan bukan karena hal lain. Demikian pula (احْتِسَابًا) juga bermakna bahwa dalam beri ibadah harus penuh perhitungan yaitu dengan menilai apakah ibadah itu benar-benar dilaksanakan sebagaimana yang diyari’atkan Allah dan Rasul-Nya, disamping itu pula ibadah dilaksanakan dengan kemauan yang kuat dan bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja.
Jika ibadah yang kita laksanakan sudah berdasarkan (إِيمَانًا) dan (احْتِسَابًا) seperti yang terurai di atas, maka insya Allah akan menghasilkan dampak positif dan nilai limpah yang berlipat ganda bagi setiap individu dan masyarakat pada umumnya seperti tujuan dari ibadah itu sendiri.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh : Ibrahim Ahmad Harun
Saya cocok jika ustadz mengartikan kata "ihtisaban" dengan "penuh perhitunngan". Itu menunjukkan puasanya orang yang berilmu, bukan sekedar ikut-ikutan dan sekedar gugur kewajiban. Dengan demikian ia tahu mana amal yang harus diprioritaskan di antara amal-amal utama, tidak rajin tarawih di masjid tapi Isya di rumah, puasa tapi meninggalkan shalat, dll.
BalasHapusdalam ibadah kita juga harus hitung-hitungan agar tidak tergolong orang-orang yang muflis (bangkrut)yaitu orang yang beramal tapi amalnya sia-sia/tak bernilai
BalasHapus