BIOGRAFI K.H. MUHAMMAD ABUBAKAR, S.Ag.
Tepat tanggal 8 Februari 1957, di Desa Bunuyo Kec. Bumbulan, lahirlah putra pertama dari pasangan Igris Abubakar dan Syarifah Jaini yang diberi nama Muhammad. Ketika anak kecil ini berusia tujuh tahun, ayahnya kembali berpulang ke hadirat Ilahi. Sejak saat itu sang anak tumbuh sebagai anak yatim menemani ibu dan seorang saudara laki-lakinya, yang biasa kami panggil dengan nama Ami Ale. Dari usia yang sangat dini, sebagai saudara tertua, dia merasa bertanggungjawab untuk menggantikan posisi ayahnya menghidupi ibu dan adiknya. Ia bukan dari keluarga kaya, jadi harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
KH. Muhammad Abubakar dan Keluarga |
KH. Muhammad Abubakar saat Wisuda di Universitas Alkhairaat Palu |
Sejak kelas 4 SD ia sudah mulai
bekerja di kebun untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Ia seringkali
harus tidur di kebun untuk menjaga jangan sampai ada hewan masuk merusak
tanaman. Sejak kecil ia sudah biasa hidup mandiri. Di kalangan kawan-kawannya,
ia dikenal sebagai seorang yang ulet, terampil dan pekerja keras.
Kawan-kawannya sering memuji hasil kerjanya dengan mengatakan “te Tuu uwito
wanu mokaraja beresi daa” atau “wanu masalah mobala te Tuu ta jago liyo.”
Tekanan kehidupan yang sangat miskin itu tidak pernah membuatnya meminta-minta kepada orang lain, dalam keadaan apapun. Ia sangat menjaga diri dan melarang keras anak-anaknya untuk melakukan hal itu (minta-minta).
Kerja keras yang ia lakukan tidak sampai membuatnya kehilangan kebahagiaan masa kecil. Permainan yang paling ia sukai adalah main alanggaya (layang-layang) dan pa’i (gasing). Ia selalu unggul dalam dua jenis permainan ini. Kesibukan di kebun tak membuatnya lupa dengan sekolahnya. Ia tetap menjadi siswa yang berprestasi dalam masa-masa di sekolah itu.
Setelah lulus SD, ia ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memberanikan diri menuturkan hal ini kepada ibunya. Niat mulia ini beroleh tanggapan yang luar biasa dari sang ibu. Ibunya hanya mampu menjawab dengan linangan air mata, sambil berujar “Hiyambola bopotaliyala bo’o diya’a uty“ (Untuk beli baju saja tidak ada Nak, bagaimana mau sekolah?)
Sebagai seorang anak berbakti, ia paham akan arti tangisan itu. Ia mengerti bahwa ibunya ingin ia tetap sekolah tapi tidak mampu untuk membiayayinya. Seusai mendengar kata-kata itu, tanpa banyak bicara, ia langsung ke dapur mengambil parang dan pacul. Ia menuju kebun melanjutkan profesi sebagai seorang petani.
Selain bertani, ia mendalami satu keterampilan lainnya yaitu membuat batu bata merah (batu tela).
Walaupun hidup bergelut dalam dunia penuh kerja keras ini, dalam hatinya masih ada perasaan cinta ilmu. Ia suka menghadiri ceramah-ceramah agama yang diadakan di kampung . Tak jarang ia menempuh jarak 10 km pulang pergi, dari Bunuyo ke Soginti, untuk menghadiri ceramah-ceramah itu. Perjalanan sejauh ini baginya sudah biasa. Sebab sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD ia sudah menempuh perjalanan ke sekolah yang berjarak delapan kilometer dari rumah dengan menggunakan sandal atau tanpa alas kaki sama sekali.
Ia juga banyak belajar dari Pak Ki’o, guru agama yang ada di Desa Bumbulan saat itu. Ia belajar Nahwu, Sharaf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia juga belajar memahami isi Al-Qur’an yang diajarkan oleh Pak Ki’o. Semua pelajaran ini menggunakan Bahasa Gorontalo. Pelajaran menerjemah Al-Quran bisa diselesaikan hingga juz delapan belas. Ia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar saat itu. Ia cuma paham dua bahasa yang ada di dunia, yaitu Bahasa Gorontalo dan sedikit-sedikit Bahasa Arab.
Selain belajar, ia juga mengajar anak-anak kampung mengaji. Dari mengajarkan mereka huruf hijaiyah, a ba ta tsa, sampai benar-benar bisa mengaji dengan baik. Kegiatan mengajar mengaji, belajar Nahwu-Sharaf, membuat batu bata, menemani ibu di rumah, dan bekerja menjaga tanaman di kebun menjadi kombinasi tertata dari sebuah siklus kehidupan anak manusia. Di dalam gelapnya Bumbulan saat itu, di pelosok desa yang belum terjangkau listrik, di tengah kesunyian suasana kampung yang masih menghijau, ia mengukir kisah hidupnya.
Enam tahun putus sekolah—dari usia 12 tahun sampai usia 18 tahun—tidak membuat semangatnya untuk menuntut ilmu menjadi luntur. Peristiwa di hari itu telah memberinya seberkas cahaya terang yang menyinari hidupnya. Saat ia belajar pada Pak Ki’o, datang Hal Umar Al-Amri, menemui Pak Ki’o. Saat itu Hal Umar sedang mengajar di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta.
Hal Umar mengatakan akan membawanya untuk belajar di Tilamuta. Mulanya ibunya tidak mengizinkan karena tidak ada lagi yang akan membantunya dalam bekerja mencari nafkah. Namun Allah membukakan hati sang ibu untuk berbesar hati dan mengizinkan anak tercinta pergi belajar.
Di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta ia masuk Madrasah Ibtidaiyah. Tapi tak lama, hanya empat bulan. Setelah itu langsung naik ke kelas I Tsanawiyah. Tidak lama berselang, ia dipindahkan ke Madrasah Tsanawiyah Al Huda Kota Gorontalo dan langsung dimasukkan ke kelas II MTs. Tidak lama di kelas II, ia langsung dipindahkan ke kelas III MTs dan akhirnya lulus pada tahun itu juga dengan nilai yang sangat memuaskan.
Melihat prestasi gemilang yang ia tunjukkan, maka guru-guru di Madrasah Al Huda saat itu mengirimnya ke Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat Palu. Hanya sebentar saja berada di kelas I, ia langsung diloncatkan ke kelas III Madrasah Aliyah dan ikut ujian pada tahun itu. Walaupun statusnya sebagai santri baru, ia bisa melalui ujian akhir kelas III dengan baik dan lulus dengan nilai terbaik.
Di kota Palu, ia tidak hanya mengikuti pelajaran formal saja. Ia rajin berkunjung ke rumah Habib Saqqaf Aljufri, Habib Abdillah, Ust. Mahfudh Godal, KH. Rustam Arsyad, dan banyak guru-guru senior Al Khairaat murid dari Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Aljufri, untuk talaqqi dan qira’ah, baca kitab secara langsung di hadapan mereka. Kemampuannya dalam Nahwu meningkat pesat dibanding kawan-kawannya yang lain. Akibat dari suhbatul ustadz ini juga, akhirnya ia sering diajak oleh Habib Saqqaf ketika ada perjalanan keluar kota.
Setelah lulus Madrasah Aliyah, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke Mesir. Namun karena persoalan biaya dan belum mendapatkan izin dari Ketua Utama Alkhairaat, HS Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri, keinginan mulia itu belum bisa terwujud. Ia tidak berkata apa apa. Dalam hati ia hanya berdoa agar kelak ada keturunannya yang bisa melanjutkan cita-citanya melanjutkan pendidikan ke Mesir. Doanya terkabul. Tiga orang anaknya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan di Kota Seribu Menara, Kairo-Mesir.
Setelah tidak mendapat izin dari Habib Saqqaf, ia kembali ke pekerjaan semula, yaitu mengabdikan diri di Alkhairaat untuk mengajar. Jiwa kealkhairaatan sudah mendarah daging dalam dirinya. Kepada anak-anaknya ia pernah berwasiat “Di manapun kamu berada, Nak, jangan pernah lupakan Alkhairaat. Kamu harus menghidupkan Alkhairaat dan bukan mencari kehidupan di Alkhairaat!”
Pernah sekali waktu ada pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia ingin ikut masuk dalam pengangkatan itu. Tapi setelah berkonsultasi ke Habib Saqqaf Aljufri, ternyata Beliau belum mengizinkan. “Muhammad Ente tidak usah jadi pegawai negeri!” kata Habib. Karena Habib sudah bertitah, akhirnya setelah itu ia tidak pernah lagi ikut pengangkatan dan tetap dalam profesinya sebagai guru. Jiwa keta’atan dan kepatuhan kepada guru inilah salah satu yang —barangkali—membuat hidupnya menjadi lebih berkah.
Tahun 1984 Hal Umar datang ke Palu untuk meminta guru, karena pada waktu itu Tilamuta kekurangan tenaga pengajar. Ia pun terpilih untuk diutus ke Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta.
Mulanya ia agak berat meninggalkan kota Palu. Sebab itu berarti ia akan berada jauh dari guru-gurunya. Ia pun sudah bisa beradaptasi dengan masyarakat di sana. Apalagi ketika itu Tilamuta masih sebuah kecamatan yang terpencil. Akhirnya, ia dipanggil oleh salah seorang gurunya yang bernama Ust. Muhammad Lationo (mantan Sekjen Alkhairaat), menyemangatinya untuk kembali pulang ke kampung halaman. Ust. Muhammad Lationo sendiri yang mengantarnya ke Tilamuta, melalui perjalanan darat yang sangat melelahkan.
Satu hal yang paling disyukurinya ketika berada di Tilamuta adalah ia bisa kembali berkebun. Tilamuta masih sangat rimbun dan menghijau. Ia bisa kembali akrab dengan pisang, jagung, kelapa, dan berbagai tanaman lainnya. Sebab memang aslinya ia adalah seorang petani. Petani yang sempat sekolah. Ia juga aslinya adalah seorang pembuat batu bata dan tukang kayu. Tukang yang tidak punya alat dan perkakas.
Di usia yang sudah matang itu, 27 tahun, ia masih saja membujang. Hingga tibalah saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa, takdir Allah mengantarkan dirinya ke depan pintu gerbang kebahagiaan selanjutnya, Guru-gurunya menawarkannya menikah dengan seorang bidadari dari Marisa, dari Abdullah Bamu, seorang tokoh masyarakat yang ada di sana. Gadis itu bernama Sa’diyah. Ia terima tawaran itu dengan ucapan alhamdulillah karena ternyata orang yang ditawarkan itu adalah kakak kelasnya sewaktu di kota Palu, namun akhirnya menjadi adik kelas ketika ia loncat kelas. Satu hal lain yang ia syukuri sebab ternyata gadis itu adalah orang yang ia cintai jauh sebelumnya. Tahun 1984 menjadi tahun yang tak terlupa. Di tahun itu ia menamatkan bagian terakhir dari Bab Bujangan, untuk pindah ke bab selanjutnya dari buku kehidupannya.
Hadirnya sang istri adalah salah satu karunia yang terindah dalam hidupnya. Istri tercinta ini menjadi pendamping hidupnya yang sangat setia di saat suka maupun duka, sedih dan gembira. Seorang istri yang beriman dan senantiasa menjadi teman. Dalam setiap kesusahan, selalu jadi hiburan. Seorang istri yang shalehah, yang punya cinta sejati. Dan akan tetap setia dari hidup sampai mati. Bahkan sampai hidup lagi…. (petikan lagu Bang Rhoma Irama ). Seorang istri yang sampai akhir menemaninya dengan penuh ketulusan dan kasih sayang sampai hayat.
Dari pernikahan ini, ia menghasilkan tujuh orang keturunan. Dua diantaranya meninggal saat masih bayi yaitu Mutiah dan Idrus. Yang masih berumur panjang dan hidup hingga saat ini adalah Umarulfaruq, Luqmanul Hakim, Abdurrahman, Hamzatussyahid, dan Fathimatuzzahra.
Sembilan tahun di Pondok Pesantren Alkhairaat Pusat Palu, dua puluh empat tahun mengajar aktif di Tilamuta, dan di tambah dua tahun mengajar di rumah, total tiga puluh lima tahun pengabdiannya di Alkhairaat, semoga tidaklah sia-sia. Ia banyak melahirkan murid dengan berbagai profesi, banyak mencetak kader-kader umat dan tokoh pendidikan. Ia tidak bosan-bosannya mengatakan pada anak-anaknya agar jangan pernah hidup kecuali menyerukan da’wah ilallah. Menyeru orang ke jalan kebaikan.
Aktifitasnya bukan hanya guru saja, tapi juga sebagai da’i dan penceramah. Semua ini ia lakukan dengan sebuah keyakinan bahwa menyeru umat ke jalan Allah adalah sebuah kewajiban dan hanya dengan adanya da’wah ini Islam akan kembali kepada kejayaan. Semangat ini terus ia bawa di dalam dadanya hingga menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 14 Februari 2010 dalam usia 53 tahun. Ia dimakamkan di pekuburan keluarga yang berada tidak jauh dari rumah.
Tekanan kehidupan yang sangat miskin itu tidak pernah membuatnya meminta-minta kepada orang lain, dalam keadaan apapun. Ia sangat menjaga diri dan melarang keras anak-anaknya untuk melakukan hal itu (minta-minta).
Kerja keras yang ia lakukan tidak sampai membuatnya kehilangan kebahagiaan masa kecil. Permainan yang paling ia sukai adalah main alanggaya (layang-layang) dan pa’i (gasing). Ia selalu unggul dalam dua jenis permainan ini. Kesibukan di kebun tak membuatnya lupa dengan sekolahnya. Ia tetap menjadi siswa yang berprestasi dalam masa-masa di sekolah itu.
Setelah lulus SD, ia ingin sekali melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Ia memberanikan diri menuturkan hal ini kepada ibunya. Niat mulia ini beroleh tanggapan yang luar biasa dari sang ibu. Ibunya hanya mampu menjawab dengan linangan air mata, sambil berujar “Hiyambola bopotaliyala bo’o diya’a uty“ (Untuk beli baju saja tidak ada Nak, bagaimana mau sekolah?)
Sebagai seorang anak berbakti, ia paham akan arti tangisan itu. Ia mengerti bahwa ibunya ingin ia tetap sekolah tapi tidak mampu untuk membiayayinya. Seusai mendengar kata-kata itu, tanpa banyak bicara, ia langsung ke dapur mengambil parang dan pacul. Ia menuju kebun melanjutkan profesi sebagai seorang petani.
Selain bertani, ia mendalami satu keterampilan lainnya yaitu membuat batu bata merah (batu tela).
Walaupun hidup bergelut dalam dunia penuh kerja keras ini, dalam hatinya masih ada perasaan cinta ilmu. Ia suka menghadiri ceramah-ceramah agama yang diadakan di kampung . Tak jarang ia menempuh jarak 10 km pulang pergi, dari Bunuyo ke Soginti, untuk menghadiri ceramah-ceramah itu. Perjalanan sejauh ini baginya sudah biasa. Sebab sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD ia sudah menempuh perjalanan ke sekolah yang berjarak delapan kilometer dari rumah dengan menggunakan sandal atau tanpa alas kaki sama sekali.
Ia juga banyak belajar dari Pak Ki’o, guru agama yang ada di Desa Bumbulan saat itu. Ia belajar Nahwu, Sharaf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Ia juga belajar memahami isi Al-Qur’an yang diajarkan oleh Pak Ki’o. Semua pelajaran ini menggunakan Bahasa Gorontalo. Pelajaran menerjemah Al-Quran bisa diselesaikan hingga juz delapan belas. Ia sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar saat itu. Ia cuma paham dua bahasa yang ada di dunia, yaitu Bahasa Gorontalo dan sedikit-sedikit Bahasa Arab.
Selain belajar, ia juga mengajar anak-anak kampung mengaji. Dari mengajarkan mereka huruf hijaiyah, a ba ta tsa, sampai benar-benar bisa mengaji dengan baik. Kegiatan mengajar mengaji, belajar Nahwu-Sharaf, membuat batu bata, menemani ibu di rumah, dan bekerja menjaga tanaman di kebun menjadi kombinasi tertata dari sebuah siklus kehidupan anak manusia. Di dalam gelapnya Bumbulan saat itu, di pelosok desa yang belum terjangkau listrik, di tengah kesunyian suasana kampung yang masih menghijau, ia mengukir kisah hidupnya.
Enam tahun putus sekolah—dari usia 12 tahun sampai usia 18 tahun—tidak membuat semangatnya untuk menuntut ilmu menjadi luntur. Peristiwa di hari itu telah memberinya seberkas cahaya terang yang menyinari hidupnya. Saat ia belajar pada Pak Ki’o, datang Hal Umar Al-Amri, menemui Pak Ki’o. Saat itu Hal Umar sedang mengajar di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta.
Hal Umar mengatakan akan membawanya untuk belajar di Tilamuta. Mulanya ibunya tidak mengizinkan karena tidak ada lagi yang akan membantunya dalam bekerja mencari nafkah. Namun Allah membukakan hati sang ibu untuk berbesar hati dan mengizinkan anak tercinta pergi belajar.
Di Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta ia masuk Madrasah Ibtidaiyah. Tapi tak lama, hanya empat bulan. Setelah itu langsung naik ke kelas I Tsanawiyah. Tidak lama berselang, ia dipindahkan ke Madrasah Tsanawiyah Al Huda Kota Gorontalo dan langsung dimasukkan ke kelas II MTs. Tidak lama di kelas II, ia langsung dipindahkan ke kelas III MTs dan akhirnya lulus pada tahun itu juga dengan nilai yang sangat memuaskan.
Melihat prestasi gemilang yang ia tunjukkan, maka guru-guru di Madrasah Al Huda saat itu mengirimnya ke Madrasah Aliyah Alkhairaat Pusat Palu. Hanya sebentar saja berada di kelas I, ia langsung diloncatkan ke kelas III Madrasah Aliyah dan ikut ujian pada tahun itu. Walaupun statusnya sebagai santri baru, ia bisa melalui ujian akhir kelas III dengan baik dan lulus dengan nilai terbaik.
Di kota Palu, ia tidak hanya mengikuti pelajaran formal saja. Ia rajin berkunjung ke rumah Habib Saqqaf Aljufri, Habib Abdillah, Ust. Mahfudh Godal, KH. Rustam Arsyad, dan banyak guru-guru senior Al Khairaat murid dari Guru Tua, Habib Idrus bin Salim Aljufri, untuk talaqqi dan qira’ah, baca kitab secara langsung di hadapan mereka. Kemampuannya dalam Nahwu meningkat pesat dibanding kawan-kawannya yang lain. Akibat dari suhbatul ustadz ini juga, akhirnya ia sering diajak oleh Habib Saqqaf ketika ada perjalanan keluar kota.
Setelah lulus Madrasah Aliyah, ia ingin sekali melanjutkan pendidikan ke Mesir. Namun karena persoalan biaya dan belum mendapatkan izin dari Ketua Utama Alkhairaat, HS Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri, keinginan mulia itu belum bisa terwujud. Ia tidak berkata apa apa. Dalam hati ia hanya berdoa agar kelak ada keturunannya yang bisa melanjutkan cita-citanya melanjutkan pendidikan ke Mesir. Doanya terkabul. Tiga orang anaknya akhirnya bisa melanjutkan pendidikan di Kota Seribu Menara, Kairo-Mesir.
Setelah tidak mendapat izin dari Habib Saqqaf, ia kembali ke pekerjaan semula, yaitu mengabdikan diri di Alkhairaat untuk mengajar. Jiwa kealkhairaatan sudah mendarah daging dalam dirinya. Kepada anak-anaknya ia pernah berwasiat “Di manapun kamu berada, Nak, jangan pernah lupakan Alkhairaat. Kamu harus menghidupkan Alkhairaat dan bukan mencari kehidupan di Alkhairaat!”
Pernah sekali waktu ada pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia ingin ikut masuk dalam pengangkatan itu. Tapi setelah berkonsultasi ke Habib Saqqaf Aljufri, ternyata Beliau belum mengizinkan. “Muhammad Ente tidak usah jadi pegawai negeri!” kata Habib. Karena Habib sudah bertitah, akhirnya setelah itu ia tidak pernah lagi ikut pengangkatan dan tetap dalam profesinya sebagai guru. Jiwa keta’atan dan kepatuhan kepada guru inilah salah satu yang —barangkali—membuat hidupnya menjadi lebih berkah.
Tahun 1984 Hal Umar datang ke Palu untuk meminta guru, karena pada waktu itu Tilamuta kekurangan tenaga pengajar. Ia pun terpilih untuk diutus ke Pondok Pesantren Alkhairaat Tilamuta.
Mulanya ia agak berat meninggalkan kota Palu. Sebab itu berarti ia akan berada jauh dari guru-gurunya. Ia pun sudah bisa beradaptasi dengan masyarakat di sana. Apalagi ketika itu Tilamuta masih sebuah kecamatan yang terpencil. Akhirnya, ia dipanggil oleh salah seorang gurunya yang bernama Ust. Muhammad Lationo (mantan Sekjen Alkhairaat), menyemangatinya untuk kembali pulang ke kampung halaman. Ust. Muhammad Lationo sendiri yang mengantarnya ke Tilamuta, melalui perjalanan darat yang sangat melelahkan.
Satu hal yang paling disyukurinya ketika berada di Tilamuta adalah ia bisa kembali berkebun. Tilamuta masih sangat rimbun dan menghijau. Ia bisa kembali akrab dengan pisang, jagung, kelapa, dan berbagai tanaman lainnya. Sebab memang aslinya ia adalah seorang petani. Petani yang sempat sekolah. Ia juga aslinya adalah seorang pembuat batu bata dan tukang kayu. Tukang yang tidak punya alat dan perkakas.
Di usia yang sudah matang itu, 27 tahun, ia masih saja membujang. Hingga tibalah saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa, takdir Allah mengantarkan dirinya ke depan pintu gerbang kebahagiaan selanjutnya, Guru-gurunya menawarkannya menikah dengan seorang bidadari dari Marisa, dari Abdullah Bamu, seorang tokoh masyarakat yang ada di sana. Gadis itu bernama Sa’diyah. Ia terima tawaran itu dengan ucapan alhamdulillah karena ternyata orang yang ditawarkan itu adalah kakak kelasnya sewaktu di kota Palu, namun akhirnya menjadi adik kelas ketika ia loncat kelas. Satu hal lain yang ia syukuri sebab ternyata gadis itu adalah orang yang ia cintai jauh sebelumnya. Tahun 1984 menjadi tahun yang tak terlupa. Di tahun itu ia menamatkan bagian terakhir dari Bab Bujangan, untuk pindah ke bab selanjutnya dari buku kehidupannya.
Hadirnya sang istri adalah salah satu karunia yang terindah dalam hidupnya. Istri tercinta ini menjadi pendamping hidupnya yang sangat setia di saat suka maupun duka, sedih dan gembira. Seorang istri yang beriman dan senantiasa menjadi teman. Dalam setiap kesusahan, selalu jadi hiburan. Seorang istri yang shalehah, yang punya cinta sejati. Dan akan tetap setia dari hidup sampai mati. Bahkan sampai hidup lagi…. (petikan lagu Bang Rhoma Irama ). Seorang istri yang sampai akhir menemaninya dengan penuh ketulusan dan kasih sayang sampai hayat.
Dari pernikahan ini, ia menghasilkan tujuh orang keturunan. Dua diantaranya meninggal saat masih bayi yaitu Mutiah dan Idrus. Yang masih berumur panjang dan hidup hingga saat ini adalah Umarulfaruq, Luqmanul Hakim, Abdurrahman, Hamzatussyahid, dan Fathimatuzzahra.
Sembilan tahun di Pondok Pesantren Alkhairaat Pusat Palu, dua puluh empat tahun mengajar aktif di Tilamuta, dan di tambah dua tahun mengajar di rumah, total tiga puluh lima tahun pengabdiannya di Alkhairaat, semoga tidaklah sia-sia. Ia banyak melahirkan murid dengan berbagai profesi, banyak mencetak kader-kader umat dan tokoh pendidikan. Ia tidak bosan-bosannya mengatakan pada anak-anaknya agar jangan pernah hidup kecuali menyerukan da’wah ilallah. Menyeru orang ke jalan kebaikan.
Aktifitasnya bukan hanya guru saja, tapi juga sebagai da’i dan penceramah. Semua ini ia lakukan dengan sebuah keyakinan bahwa menyeru umat ke jalan Allah adalah sebuah kewajiban dan hanya dengan adanya da’wah ini Islam akan kembali kepada kejayaan. Semangat ini terus ia bawa di dalam dadanya hingga menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 14 Februari 2010 dalam usia 53 tahun. Ia dimakamkan di pekuburan keluarga yang berada tidak jauh dari rumah.
Dikutip Dari :
Guru besar, ustadz kami yang sabar dan ikhlas. Semoga Allah memberi tempat terbaik untuk Beliau di akhirat. Amin.
BalasHapusKalau tidak salah Ust. Umarulfaruq, anak beliau, mengajar di pesantren Ibnu Abbas Klaten atau Solo gitu, apa benar?
BalasHapusbetul, betul, betul ...........
BalasHapus