Gerbang lokasi Makam Keramat Ju Panggola di Kelurahan Dembe I, Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo |
Ju Panggola, Ia dikenal sebagai pelindung rakyat, ulama dan Waliyullah. Makamnya
yang selalu penuh oleh para peziarah, harum semerbak setiap hari. Kaum
muslimin di Gorontalo, niscaya tidak ada yang tidak kenal nama Ju
Panggola. Ia adalah seorang Ulama, Pejuang dan Waliyullah yang masyhur
di abad ke 16. Pendek kata Ju Panggola adalah tokoh kharismatik yang
makamnya dikeramatkan, dan sampai sekarang selalu diziarahi banyak
orang. Sebagai penghormatan, makam Ju Panggola dibangun di balik mihrab
Masjid Quba – sebuah masjid mungil, di puncak sebuah bukit dengan
panorama yang indah di sekitarnya.
Ju Panggola sesungguhnya adalah gelar, yang artinya ”tokoh yang dituakan”. Orang Gorontalo di zaman dulu selalu mengenal Ju Panggola sebagai kakek tua yang berjubah putih yang panjangnya sampai ke lutut. Ia juga dikenal sebagai Ilato atau Raja Kilat, karena perjuangan melawan penjajah Belanda ia mampu menghilang, dan kembali muncul jika negeri dalam keadaan gawat. Karena jasa-jasanya, Ju Panggola mendapat gelar adat “Ta Lo’o Baya Lipu” atau “orang yang berjasa kepada rakyat”, sebagai lambang kehormatan dan keluhuran negeri.
Ju Panggola juga dikenal sebagai penyebar agama Islam. Berkat
penguasaan ilmu agama yang tinggi, ia tidak saja dikenal sebagai Ulama,
tapi juga sebagai Waliyullah. Dan sebagai pejuang, ia juga dikenal
sebagai pendekar yang piawai dalam ilmu persilatan di Gorontalo yang
disebut Langga. Berkat kesaktiannya, ia tidak perlu
melatih murid-muridnya secara fisik, melainkan cukup dengan meneteskan
air kepada kedua bola mata sang murid, dan setelah itu, kontan sang
murid mendapatkan jurus-jurus silat yang mengagumkan.
Tapi ada versi legenda lain yang menyebutkan bahwa Ilato adalah
“Raja”. Namun tidak ada yang dapat memastikan, apakah Ilato Ju Panggola
adalah juga Raja Ilato putra Raja Amai yang bergelar “Matoladula Kiki”
yang memerintah kerajaan Gorontalo pada 1550 – 1585, dan menetapkan
Islam sebagai agama resmi kerajaan. Yang pasti, pada sebuah batu
prasasti di bukit yang juga merupakan fondasi masjid Quba, tertera
tulisan: Masjid Quba, tempat makam Ta’awuliya Raja Ilato Ju Panggola, Ta
Lo’o Baya Lipu, 1673 M, wafat Ahad 1 Muharam 1084 H.
Menurut silsilah pada buku yang bertuliskan huruf Arab Pegon, maka Ju
Panggola atau Raja Kilat (Ilato) merupakan titisan dari Raja-Raja besar
di Gorontalo seperti Raja Matolodula Kiki, Raja Amay sampai kepada Raja
Yilahudu / Matolodulada’a (pendiri Kerajaan Gorontalo). Ju Panggola
diganti oleh anaknya sebagai Raja yaitu Raja Humonggilu pada tahun 1673.
Anak perempuan Raja Kilat yaitu putri Tataydi adalah Ibu dari Jogugu
Limboto, Wadipalapa sedang Putri Otu (anak Ju Panggola) dikawini Raja
Walangadi I menghasilkan 9 anak antara lain, Raja Botutihe.
Raja Kilat (Ju Panggola) bersaudara tiga yaitu 1. Raja Putri Moliye,
2. Raja Kilat (Ju Panggola), 3. Padudu. Raja Putri Moliye dimakamkan di
Gunung di Pelabuhan Gorontalo (Ta toayabu), sedangkan Padudu dimakamkan
di Batuda’a pantai dan Raja Kilat dimakamkan di Kelurahan Dembe Kecamatan Kota Barat, berdekatan dengan Benteng Otanaha.
Dalam buku yang bertuliskan Huruf Arab Pegon Ju Panggola adalah seorang Aulia karena Aulianya kuburannya selalu diziarahi oleh orang-orang dari segala penjuru. Jadi Ju Panggola ini bukan seperti cerita orang bahwa beluai adalah Ta Lobutaa To Putito (yang pecah dari telur), karena jelas silsilahnya dan bukan pula kembaran dari Tolangahula.
Adapun Putri Tolangahula (Putri Bulan Purnama) yang merupakan Raja
pertama Kerajaan Limboto (1330), bahwa ketika dua orang perempuan yaitu
Mbuibungale dan Mbuibintela bertengkar memperebutkan suatu benda yang
berkilauan ditengah danau masing-masing mengaku benda itu miliknya.
Tiba-tiba muncul seorang tinggi besar (Pembono Bulodo II anak dari
Buluati, Raja Bolaang dengan istrinya Buluwinadi cucu Raja Suwawa)
mengambil benda tersebut yang terbungkus daun teratai, setelah dibuka
ternyata seorang bayi perempuan yaitu putri Tolangohula. Lelaki tersebut
menanyakan kepada kedua permpuan yang bertengkar itu apa mereka sudah
bersuami. Karena keduanya menjawab belum bersuami maka Pembono Bulodo II
meminta untuk memperistrikan keduanya dan keduanya menerima pinangan
tersebut sedangkan bayi tersebut dipelihara oleh salah satunya yaitu
Mbuibungale. Perkawinan Pembono Bulodo II dengan Mbuibungale melahirkan
anak laki-laki dengan nama Yilumoto (Luneto). Setelah dewasa Yilumoto
dan Tolangohula menjadi suami istri.
Jadi dapat dilihat disini bahwa Tolangohula hidup pada sekitar Tahun
1330 sebagai Raja Pertama Kerajaan Limboto, sedangkan Ju Panggola /
Aulia atau Raja Kilat / Raja Limboto hidup sekitar Tahun 1500-an.
Seperti halnya banyak legenda, sebuah versi mengatakan, Ju Panggola
wafat di Mekah. Tapi versi lain menyebutkan, ia tidak wafat, melainkan
raib, menghilang secara gaib. Lantas bagaimana dengan makam di balik
mihrab masjid Quba yang di yakini sebagai makam Ju panggola? Menurut Farha Daulima,
Budayawan Gorontalo, makam tersebut dibangun oleh warga setempat hanya
berkat adanya keajaiban di tanah tempat makam itu kini berada.
Tanah yang berwarna putih itu baunya sangat harum. Menurut penuturan
orang-orang tua dulu, Ju Panggola pernah berwasiat, “Dimana ada bau
harum dan tanahnya berwarna putih di situlah aku,” di sana pula dulu Ju
Panggola tinggal sekaligus berkhalwat. Itulah sebabnya warga setempat
menganggap, disana pula Ju Panggola “beristirahat panjang.”
Makam Ju Panggola terdapat dalam sebuah bilik berukuran 3 x 3 m,
lantainya dari keramik warna putih, sewarna dengan kain kelambu penutup
tembok dinding yang menjuntai menyentuh lantai. Tanah makam berwarna
putih dan harum itu sering diambil oleh para peziarah, karena mereka
percaya, sejumput tanah makam itu dapat menjadi obat. Bahkan ada saja
gadis-gadis yang membawa pulang segumpal tanah tersebut untuk digunakan
sebagai bedak lulur, bahkan diyakini dapat mempercantik diri dan dapat
mempermudah mendapat jodoh.
Dibulan ramadhan, makam ini penuh dengan orang berziarah. atau jika
musim paceklik tiba, banyak orang berziarah kesana. Di makam Ju Panggola
yang dikeramatkan itu mereka berkhalwat selama tujuh hari sambil
berpuasa, membaca shalawat dan berdoa dengan khusuk. Ada pula sebagian
peziarah yang melakukan ritus khusus dengan meletakkan sebotol air putih
di makam sang Waliyullah selama tiga hari tiga malam. Mereka berharap
air itu menjadi obat untuk segala macam penyakit. Wallahu’ A’lam.
Referensi :
- Taufik Polapa, milist gorontalomaju2020
- sufiz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar