Bismillahirrahmanirrahim. ------ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh ---- Ahlan wa sahlan wa marhaban biqudumikum lana. Selamat datang di blog ini, semoga bisa memperoleh hikmah di dalamnya.----

Rabu, 21 September 2011

Beberapa Koreksi Terhadap BUKU II Edisi Revisi 2010


Beberapa Koreksi Terhadap BUKU II Edisi Revisi 2010
Oleh : Ibrahim Ahmad Harun*

Setelah penulis membaca makalah Rakernas MARI 2011 “Pemecahan Permasalahan Hukum di Lingkungan Peradilan Agama” ada beberapa permasalahan hukum yang dibahas dan pemecahan terhadap permasalahan hukum tersebut sekaligus mengoreksi Buku II edisi revisi 2010. Adapun beberapa koreksi tersebut sebagai berikut :

Permasalahan
Di pertengahan proses pemeriksaan perkara, panjar biaya perkara telah habis dan Pemohon/Penggugat tidak mampu lagi untuk menambah panjar biaya perkara. Dapatkah Pemohon/ Penggugat melanjutkan berperkara secara prodeo?

Pemecahan Masalah
Perkara dibatalkan dan memerintahkan panitera untuk mencoret dari daftar, sekaligus mengoreksi Buku II Edisi Revisi 2010 halaman 70 angka 4).

Permasalahan
Ahli Waris Pengganti dalam Buku II supaya direvisi.

Pemecahan Masalah
Ahli waris pengganti sesuai hasil Rakernas 2010 hanya kepada cucu saja. Dengan demikian sekaligus menyatakan bahwa ketentuan dalam Buku II Edisi Revisi 2010 hal. 167 huruf c) angka 2) s.d. 6) yang berkaitan dengan ahli waris pengganti tidak berlaku.

Permasalahan
Dalam perkara cerai gugat dengan alasan riddah amar putusannya apakah talak satu bain sughra atau fasakh?

Pemecahan Masalah
Amarnya fasakh, sekaligus meralat Buku II Edisi Revisi 2010, hal 153 huruf m)

Permasalahan
Pedoman mengenai dispensasi kawin telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam Buku II Edisi Revisi 2010 dijelaskan pada halaman 142. Permohonan dispensasi kawin diajukan oleh calon mempelai pria yang belum berusia 19 tahun, calon mempelai wanita yang belum berusia 16 tahun dan/atau orang tua calon mempelai tersebut kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam wilayah hukum dimana calon mempelai dan/atau orang tua calon mempelai tersebut bertempat tinggal. Tambahan uraian tersebut dapat menimbulkan ketidakjelasan untuk dijadikan pedoman, karena membuka peluang pengajuan permohonan dispensasi kawin bagi anak-anak yang belum cakap menurut hukum. Kalau dipahami secara tekstual, berarti anak-anak seusia SD atau SLTP diberi peluang mengajukan sendiri permohonan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Padahal, Undang-Undang telah menentukan bahwa seseorang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum setelah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun (vide Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974).
Bagaimanakah solusinya ?

Pemecahan Masalah
Buku II Edisi Revisi 2010 salah cetak yang mengajukan adalah orang tua bukan calon pengantin

Permasalahan
Buku II Edisi Revisi 2010 (hlm. 145) memberikan pedoman berkaitan dengan pencegahan perkawinan, antara lain dalam angka (6) disebutkan : Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah menyampaikan salinan surat permohonan pencegahan perkawinan kepada Kantor Urusan Agama (KUA), agar KUA tidak melangsungkan perkawinan kedua belah pihak yang bersangkutan, selama proses pemeriksaan di Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah. Namun Buku II tersebut tidak memberikan pedoman lebih lanjut tentang tata cara perintah penyampaian salinan surat permohonan dimaksud kepada KUA. Bagaimanakah caranya

Pemecahan Masalah
Lihat Pasal 17 UU No. 1 tahun 1974. Buku II salah cetak karena proses yg sesungguhnya adalah PPN menolak untuk menikahkan atas dasar surat penolakan , calon mempelai mengajukan pemohonan pembatalan penolakan kawin ke Pengadilan Agama.

Permasalahan
Buku II Edisi Revisi 2010 (hlm. 163) memberikan pedoman prosedur permohonan pemeriksaan pengangkatan anak yang diuraikan dalam huruf b angka (2) dan (3) : Prosedur permohonan pemeriksaan pengangkatan anak harus memedomani Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983, dan Nomor 3 Tahun 2005. Permohonan tersebut dapat dikabulkan apabila terbukti memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarnegaraan Republik Indonesia, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983, dan Nomor 3 Tahun 2005.
Buku II Edisi Revisi 2010 tersebut masih mendasarkan pada beberapa SEMA, padahal telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Usul Pemecahan
Dasar hukum sebagai pedoman prosedur permohonan pemeriksaan pengangkatan anak masih menggunakan beberapa SEMA. Dasar hukum yang diuraikan tersebut relevan digunakan ketika peraturan perundang-undangan belum memadai dalam mengatur pengangkatan anak.
Namun, setelah hal-hal yang dimuat dalam SEMA tersebut telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka SEMA tersebut sudah tidak relevan lagi dijadikan dasar hukum. Pada tanggal 3 Oktober 2007 telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Oleh sebab itu, beberapa SEMA tersebut sudah tidak relevan lagi dijadikan sebagai dasar hukum.Demikian pula pedoman penyampaian salinan penetapan tidak lagi berdasar pada SEMA Nomor 3 Tahun 2005, tetapi berdasarkan Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Pemecahan Masalah
Buku II salah jawaban betul.
Permasalahan
Jika menyimak petunjuk khusus dispensasi kawin dalam buku II Revisi 2010 (hal. 142), muncul kekaburan tentang siapa yang boleh mengajukan permohonan dispensasi kawin. Di dalam pendahuluannya seolah-olah hanya orang tualah yang harus mengajukan permohonan dispensasi kawin, namun jika dibaca uraiannya, misalnya angka (1) si calon suami atau calon isteri yg belum mencapai batas usia kawinpun dapat juga mengajukan.
Pertanyaannya:
Bagaimana kepastiannya, mohon klarifikasi. Jika memang si calon suami-isteri juga boleh, bagaimana ketentuan batas umur seorang untuk menjadi subjek hukum?

Pemecahan Masalah
Pada dasarnya permohonan diajukan oleh orang tua, namun dalam hal walinya adhal (enggan) mengajukan permohonan, dapat diajukan oleh mempelai, yang berhak menentukan sebagai Termohon, adalah atas keinginan Pemohon Sendiri.
Hakim dalam persidangan memastikan pihak yang idtarik sebagai Termohon sudah benar. Prolog dalam Buku II salah ketik seharusnya orang tua/calon mempelai).


Demikian, semoga bermanfaat ......... Wallahul Musta'an....


Referensi :

- Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II) Edisi revisi 2010, Direktorat Jenderal badan Peradilan Agama RI, 2010.

*Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Agama Masohi

<div class="fb-like" data-href="http://www.isim-hikmah.blogspot.com/" data-send="true" data-width="450" data-show-faces="true"></div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar