ANAK
LUAR NIKAH
DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI*
oleh
Dr.
H, Habiburrahman, MHum.**
Telah
terjadi kehebohan di dunia maya; di media massa mengomentari putusan Mahkamah
Konstitusi tertanggal 17 Februari 2012 tentang Anak Luar Nikah. Tanggal 22 Februari
2012 ketika saya berada di Bali guna sesuatu kegiatan, saya ditelepon seseorang
hakim pada peradilan agama, yang menceritakan kehebohan di kalangan masyarakat
yang peduli hukum, antara pihak-pihak yang mendukung dan pihak-pihak yang
menentangnya. Setelah kembali keJakarta, mulailah mencari koran-koran terbitan
pasca adanya putusan MK tersebut, ada tulisan Nurul Irfan, saksi ahli dalarn
judicial reyiew UU No. 1 Tahun 1974, yang antara lain menulis: "Jika
tambahan rumusan pasal itu dipahami hanya dari sudut kalimat semata-mata maka
akan sangat wajar jika akhirnya menuai kontroversi. Oleh sebab itu, pemahaman
runtut dan komprehensif sangat dibutuhkan agar tidak salah paham. Meminjam
istilah ulumul qur’an dan ulumul hadits, rumusan pasal ini harus dikaitkan dengan asbabun nuzul atau asbabul wurud yang
melatar belakanginya".
Sebaliknya
Muh. Nursalim Kepala KUA Kecamatan Gemolong, Sragen dan Kandidat Doktor UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, menanggapi dukungan Nurul Irfan di atas, dengan
judul Ijtihad Liar MK, menyimak pembelaan Jubir MK di Media TV rencana MUI akan
mengeluarkan fatwa tentang isi putusan MK tersebut dan lain sebagainya.
Sejak
awal sudah terniat untuk ikut memberikan tanggapan terhadap putusan tersebut,
tapi beban tugas yang begitu menumpuk, sehingga agak terlambat selesainya
tulisan ini.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang mengadili perkara konstitusi
pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh para Pemohon: Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim
dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono. Pemohon mendalilkan bahwa ianya
dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan diperlakukan berbeda di muka hukum
terhadap status hukum perkawinannya oleh undang-undang.
- Bahwa pernikahan
yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inhracht
van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs tanggal 18 Juni 2008, halaman ke-5, alinea ke-5 yang
menyatakan: Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung
pemikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
lbrahim) dengan seoran laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan wali nikah
almarhum H. Moctar Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing
bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat
alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas,
berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dart
qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs. Moerdiono;
- Bahwa Pemohon
merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak
konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama
berkaitan dengan Pasal} Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1). Pasal ini ternyata
justru menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi
Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang
dihasilkan dari hasil perkawinan;
- Bahwa hak
konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 B Ayat (1) dan Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan Pasal 28B Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, maka
Pemohon dan anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan
atas pernikahan dan status hukum anaknya. Hak konstitusional yang dimiliki oleh
Pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam UU Perkawinan. Normahukum ini
jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan Pemohon adalah sah dan sesuai
dengan rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusionalyang termaktub
dalam Pasal 2B8 Ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan Pemohon yang dilangsungkan sesuai
dengan rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2 Ayat (2) UU
Perkawinan. Norma hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatat menurut
peraturan perundangundangan yang berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang
sah dan sesuai dengan rukun nikah agama Islam (norma agama) menjadi tidak sah
menurut norma hukum. Kemudian hal ini berdampak ke status anak yang dilahirkan
Pemohon ikut tidak menjadi sah menurut norrna hukum dalam UU Perkawinan. Jadi,
jelas telah terjadi pelanggaran oleh norma hukum dalam UU Perkawinan terhadap
perkawinan Pemohon (norma agama).
Dalam petitumnya
Pemohon mohon kepada Mahkamah Konstitusi agar memutus:
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji
Materiil Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat
(1) UU Perkawinan, bertentangan Pasa] 28B Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 28D
Ayat (1) UUD 1945;
3. Menyatakan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat
(1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala
akibat hukumnya;
Atau jika majelis
hakim berpendapat lain, maka dimohonkan putusan yang seadil adilnya (ex aequo
etbono);
PENJELASAN DPR
tentang pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang dituntut Pemohon antara lain
sebagai berikut:
- alasan para Pemohon
tidak dapat mencatatkan perkawinannya karena UU Perkawinan pada prinsipnya
berasas monogami adalah sangat tidak berdasar. Pemohon tidak dapat mencatatkan
perkawinannya karena tidak dapat memenuhi persyaratan poligami sebagaimana
diatur dalam UU Perkawinan. Oleh karena itu, sesungguhnya persoalan para
Pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan
hukum yang tidak dipenuhi oleh para Pemohon;
- DPR berpandangan
bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang tidak
memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak
keperdataan yang timbul dari akibat Perkawinan termasuk anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
- Perlu disampaikan
bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dapat berimplikasi terhadap pembuktian
hubungan keperdataan anak dengan ayahnya. Dengan demikian, anak yang lahir dari
perkawinan yang tidak dicatat tersebut, tentu hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya;
PERTIMBANGAN HUKUM
MAHKAMAH KONSTITUSI antara lain:
- Menimbang bahwa
pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasd 2 Ayat
(2) UU 1/1974 yang menyatakan, "Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku", dan Pasal 43 Ayat (l) UU 1 tahun 1974 yang
menyarakan ,'Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya manpunyai hubungan perdata degan ibunya
dan keluarga ibunya", khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status
hukum anak;
- Pencataran merupakan kewajiban administratif
yang diwajibkan berdasarkan peraruran perundang-undangan. Adapun faktor yang
menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama
dari masingmasing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan Perkawinan
oleh negara melalui peraturan perundang undangan merupakan kewajiban
administratif. Makna pentingnya kewajiban adminisuatif berupa pencatatan
perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama,
dari perspekrif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi Negara
memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab Negara dan harus
dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta
dituangkan dalam peraturan perundang-undang {fide Pasal 28 I Ayat (4) dan Ayat
(5) UUD 1945}. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan,
pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan
konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan unJang-undang dan dilakukan
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis [vide Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945].
Kedua,pencatatan secara
administratifyang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai
perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan,
yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangar luas, di kemudian hari
dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik,
sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang
timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara
efektifdan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti autentik perkawinan,
hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani
dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu,
uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal
usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yangmengatur bahwa bila asal usul anak tidak
dapat dibuktikan dengan akta autentik makamengenai hal itu akan ditetapkan
dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak
lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta autentik sebagai
buktinya;
-
bahwa pokok permasalahan hukum
mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legalmeaning)
frasa “yangdilahirkan di luar perkawinan”,
untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu-permasalahan tentang sahnya anak;
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan sperrnatozoa baik
melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu,
tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak
adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya
sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak
terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang
anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa
hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara
seorang perempuan dengan seorang lakilaki, adalah hubungan hukum yang di
dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek
hukumnya meriputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan
anak dengan seorang laki-laki sebagai bapdk tidak semata-mata karena adanya
ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya
hubungan darah antara anak dengan laki-laki rersebut sebagai bapak;
- Dengan demikian, terlepas dari soar
prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan
perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang
dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan
status ayah sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinanya
masih dipersengketakan;
ABSTRAK HUKUM:
Berdasarkan
pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dikemukakan abstrak hukum
anrara lain:
1. Pencatatan
perkawinan sebagai pembatasan, pembatasan tidak bertentangan dengan ketentuan
konstitusionar karena ditetapkan dengan undang-undang;
2. Pencatatan
perkawinan melahirkan bukti yang semp,rna dengan suatu akta autentik, sehingga
perlindungan dan pelayanan oleh negara ierkait dengan hak-hak yang timbur dari
suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan
efisien;
3. Hubungan anak
dengan seorang raki-raki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan '
perkawinan, akan teapi dapaiyuga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki rersebut sebagai bapak;
Menurut
hemat penulis telah terjadi kontradiksi anarapoin l dan 2 dengan poin 3. Poin 1
dan 2 pencatatan perkawinan merupakan suatu yang imperatif dan diakui negara,
sebaliknya poin 3 mementahkan keharusan adanya pencatatan dan bahkan kumpul
kebo pun menjadi legal.
Badan
peradilan, khususnya peradilan perdata baik di peradilan umum maupun peradilan agama sebagai peradilan negara
telah menjalankan ketentuan poin 1 dan 2 tersebut, dan oleh karenanya suatu
perkawinan siri sekalipun, meskipun perkawinan tersebut sah menurut agama, akan
tetapi karena tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, atau tidak
dicatatkan pada Catatan Sipil, maka segala pengaduan/tuntutannya ke pengadilan
perdata yang berkaitan dengan perkawinan yang tidak tercatat tersebut, seperti:
gugatan perceraian, nafkah anak, kewarisan, harta bersama, dan sebagainya di
luar kewenangan absolut pengadilan. Dengan kata lain hubungan hukum antara
laki-laki dan perempuan sebagai suami istri tersebut tidak diakui negara hukum
Indonesia, atau dengan kata lainnya lagi: "sah" menurut agama,
"tidak sah" menurut undang-undang.
Undang-Undang Nomor 1 Thhun 1974 tentang
Perkawinan, Iahir setelah pemuda-pemudi Islam berdemo di depan Gedung DPR-RI.
Mereka jihad dan tidak takut dengan aparat yang memanggul senjata, bulldozer,
dan gas air mata. Para pemuda-pemudi di barisan terdepan membela protes
Ulama-ulama Indonesia yang menolak RUU Perkawinan yang sedang dibahas di DPR,
tersebut, karena konsep awalnya RUU tentang Perkawinan tersebut identik dengan
hukum perkawinan ala Hukum Perdata Barat (BW). Ternyata demo pemuda-pemuda
Islam yang mendukung penolakan Ulama-ulama Indonesia tersebut membuahkan hasil,
yaitu masuknya nilai-nilai Islam seperti perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang
Maha Esa), perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
ketentuan waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang putus perkawinannya dan
lain-lain. Bandingkan hukum perkawinan ala Perdata Barat (BW) mulai Pasal 27
sampudengan Pasal495, perkawinan hanya hubungan keperdataan saja,
artinyalaki-laki dan perempuan boleh bergaul bebas atas dasar senang sama
senang, oleh karenanya di Barat, merupakan hal yang biasa seorang perempuan
mempunyai anak tanpa kawin, bukan merupakan suatu aib. Apakah hal seperti di
dunia Barat seperti itu, akan dilegalkan juga di Indonesia???
Khusus bagi umat Islam, lembaga
perkawinan amat sakral, dari rakyat jelata
yang hidup di kolong jembatan hingga pemimpin negara menjaga kesakralan tersebut.
Mereka mencita-citakan susunan keluarga yang baik, memperoleh anak keturunan
yang baik-baik pula, oleh karenanya mereka patuhi ketentuan agama Islam,
memenuhi syarat rukun nikah, membayar mahar, mengadakan walimahan/resepsi agar
masyarakat sekeliling mengetahuinya.
Setiap ada upacara pernikahan, doa dari
segenap yang hadir di perhelatan tersebut antara lain, memanjatkan permohonan
kiranyaAllah memberkahi rumah tangga keduanya, tercapai keluarga yang sahinah, mawaddah,
warahmah.
Doa-doa segenap lapisan masyarakat Muslim
ini akan tertolak semuanya, bila isi putusan MK tersebut dijalankan-khususnya
mengenai hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata
karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan raki-laki tersebut sebagai
bapak-. Betapa hancurnya rumah tangga-rumah tangga yang tadi aman tenteram , sakinah,
mawaddah, warahmah, bila tiba-tiba sang suami, ayah, kakek mereka dipanggil
porisi untuk divisum, akan diambil darahnya untuk tes DNA, karena ada seorang
perempuan dan boleh jadi PSK menuduh sang suami, ayah, kakek tersebut menggaulinya,
dan anak yang ia lahirkan adalah anak laki-laki yang dituduh tersebut. MK boleh
saja berdalih "demi kepentingan anak", tapi bandingkan manfaat bagi
si anak dengan mudarat yang ditimbulkan oleh pengaduan-pengadua perempuan nakal
tersebut bagi rumah tangga-rumah tangga yang baik-baik. Dengan bahasa lain
“daf’udh-dharar muqaddamun 'ala jalbil mashalih”. Kerusakan yang akan
ditimbulkan oleh penerapan putusan MK tersebut lebih besar, dibandingkan
manfaatnya yang hanya membela seorang anak.
Tuhan menyebut terlebih dahulu perempuan
daram pembuat mesum baru diiringi oleh laki-laki, implementasinya di masyarakat
memang demikian. Siapakah yang berdemo anti-RUU PORNOGRAFI kalau bukan para
perempuan, dalam demo tersebut ada yang berpakaian sangat minim, membuka bagian
dada, mempertontonkan paha, dan sebagainya. Belum lagi yang praktik-praktik
menjuar diri dengan tarif, para PSK, dan lain-lain. Bila perbuatan mesum mesum
demikian mendapat perlindungan hukum, berarti tidak beda dengan hukum perdata
Barat, bahwa hubungan laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri hanya
merupakan hubungan keperdataan saja.
Dalih melindungi kepentingan anak yang
tidak berdosa tidak harus melegalkan kumpul kebo dan tujuan putusan MK tersebut
minimar memberi ancaman rasa takut kepada laki-laki berbuat seenaknya, har ini
juga tidak adil, mengapa laki- laki saja yang harus dibikin jera (kapok), sebaliknya
perempuan bahkan dilindungi.
Berkaitan dengan kasus yang diputus oreh
MK tersebut, sepeni dikemukakan bahwa terdapat fakta adanya penetapan
pengadilan Agama Tigaraksa Banten. yang menyatakan sah perkawinan antara Hj.
Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan Drs. Moerdiono.
penetapan pengadilan agama tersebut seharusnya dipertanyakan, apa yang menjadi
dasar/alas an didalam posita surat permohonan Pemohon? Pada dasarnya seseorang
tidak diperborehkan melakukan perkawinan kedua (poligami), kecuali telah ada izin
dari pengadilan. Untuk mendapat izin berpoligami dari pengadilan harus telah
memenuhi persyararan yang ditentukan oleh undang-undang. Menjadi pertanyaan:
apakah Drs. Moerdiono sewaktu akad nikah
dengan Hj. Aisyah Mochtar belum mempunyai istri, atau seorang duda?, sehingga
demikian saja pengadilan Agama Tigaraksa mengabulkan permohonan pengesahan
perkawinan tersebut.
Tuntutan Pemohon Hj. Aisyah Mochtar agar
pasal tentang pencatatan perkawinan ditinjau ulang oleh MK, karena
inkonstitusional (pencatatan perkawinan orang-orang yang beragama Islam pada Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dan bagi yang beragama lain pada catatan sipil) tentu
tidak akan tercapai, karena selain upacara akad nikahnya tidak melapor dan
tidak minta dihadiri oleh PPN setempat, juga
belum ada izin poligami dari pengadilan. Umum mengetahui, bahwa Drs. Moerdiono
pada saat perkawinannya dengan pemohon tersebut, masih mempunyai isfri.
Tuntutan berikutnya mengenai Pasal 43
mengenai status anak yang oleh UU hanya diakui sebagai anak dari ibu, dalam hal
ini MK mengabulkan sehingga terjadilah kehebohan. sebagaimana analisis dalam
'Abstrak Hukum', di atas dinyatakan, bahwa selain pencaratan yang diwajibkan
oleh UU tidak bertentangan dengan konstitusi, juga merupakan alat bukti
autentik dalam hubungan keperdataan sebagai suami-istri, anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut sah dan diakui negara, diakui hak-haknya
sebagai anak seperti: untuk mendapatkan akta kelahiran, mendapat nafkah (biaya
kehidupan), hak waris, dan lain sebagainya, Karena perkawinan Pemohon dengan
Drs. Moerdiono belum tercatat, maka Negara belum dapat melindungi hak-hak anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebur. Meskipun Pemohon menuntut hak anak
seperti nafkah, waris, dan diakui sah oleh negara sebagai Drs. Murdiono melalui
pengadilan perdata tuntutan pemohon tidak akan dilayani, karena hubungan hukum
pemohon dan Drs. Moerdiono belum diakui negara.
Ibarat seseorang memiliki kendaraan roda
empat, tapi tidak ada surat-surat (BPKB dan STNK)-mobil tersebut bisa saja
dipakai oleh pemiliknya sepanjang tidak bermasalah, tapi begitu melanggar lampu
merah, tabrakan, menyerempet, melanggar marka jalan, dan sebagainya akan
mengundang masalah dan menjadi pemilik kendaraan amat repot, begitu juga bila
mobil itu dicuri orang kemudian lapor polisi, polisi tidak akan menggubris atau
bahkan dianggap mobil curian bila diminta tunjukan BPKB-nya bahwa benar mobil
itu milik pelapor, mobil tersebut tidak akan laku dijual karena tidak ada bukti
kepemilikan, dan seterusnya.
Demikian mudah-mudahan tanggapan kami ini
bermanfaat.
* Tanggapan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai
Anak
Luar
Nikah.
** Hakim
Agung periode 2003 sampai dengan sekarang.
Dikutip dari : Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVII
No. 317 April 2012 yang diterbitkan oleh
IkatanHakim Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar