Bismillahirrahmanirrahim. ------ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh ---- Ahlan wa sahlan wa marhaban biqudumikum lana. Selamat datang di blog ini, semoga bisa memperoleh hikmah di dalamnya.----

Senin, 03 September 2012

Alkhairaat, Jejak Kebesaran Guru Tua


 


CARIKABAR.COM - Ini bukti kebesaran Habib Idrus bin Salim Aljufri, pendiri Perguruan Islam Alkhairaat, yang berpusat di Palu, Sulawesi Tengah. Setiap tahun, setelah Hari Raya Idul Fitri, persisnya 12 Syawal, ribuan umat Islam dari berbagai daerah, terutama di kawasan timur Indonesia (KTI), berduyun-duyun ke Palu.
Mereka sengaja ke Ibu Kota Sulteng itu, untuk menghadiri acara haul (peringatan wafat) tokoh dan tonggak Islam di kawasan Indonesia Timur, Guru Tua Al-Alimul 'Allamah Hadratus Syeh Idrus bin Salim Aljufri. Di sanalah tokoh penebar Islam itu dimakamkan.



Sepak terjang Guru Tua memang terpatri dalam benak sebagian masyarakat Muslim Indonesia timur. Sulit melupakan perjuangan gigih Habib Idrus dalam menegakkan agama lslam. Ia tak segan ke pelosok-pelosok daerah terpencil, demi menyebarkan syiar Dienul Islam.

Tak ada kendaraan, ia melakoni perjuangannya dengan berjalan kaki, sampai naik sampan. Tujuannya satu, memberikan pencerahan akidah Islam dan bimbingan pada umat Islam.

Habib Idrus lahir di kota Taris, 4 km dari ibu kota Seiwun, Hadramaut, Yaman Selatan, 14 Syaban 1309 H, bertepatan dengan 15 Maret 1881 Masehi. Ia mendapat pendidikan agama langsung dari ayah dan lingkungan keluarga. Ayahnya, Habib Salim, seorang Qadhi (hakim) dan mufti (Ulama dengan otoritas mutlak memberi fatwa) di Kota Taris, Hadramaut.

Kakeknya, Al Habib Alwi bin Segaf Aljufri, ulama besar di masa itu. Ia salah satu dari lima orang ahli hukum di Hadramaut yang fatwa-fatwanya terkumpul dalam kitab Bulughul Musytarsyidin, karya Al-Imam Al-habib Abdurrahman Al-Masyhur.

Habib Idrus muda gigih menimba ilmu agama. Karena itu, ditambah tempaan langsung ayahnya, Habib Salim Aljufri dalam usia 18 tahun, telah hafal Alquran. Setelah Sang Ayah wafat, ia diangkat menjadi mufti muda di Taris menggantikan sang ayah. Mufti ini jabatan tertinggi di bidang keagamaan dalam suatu kesultanan.

Cinta Indonesia

Catatan Sufiroad.blogspot menyebutkan, awalnya Habib Idrus ke Indonesia sebagai orang terusir dari negerinya, oleh penjajah Inggris. Sekitar 1909, ia mendarat di Manado, Sulawesi Utara. Tetapi, tak lama, ia kembali ke kampung halamannya, Hadramaut.

Pada 1925, Habib Idrus kembali ke Indonesia, kali ini menetap di Pekalongan, Jawa Tengah. Tiga tahun kemudian, ia ke Jombang, Jawa Timur, untuk mengajar sekaligus berdagang. Ia sempat pindah ke Solo, lalu hijrah ke Sulawesi pada 1928.

Habib Idrus memutuskan meluaskan dakwah ke Indonesia, yang kelak menjadi negeri keduanya. Kecintaannya terhadap Indonesia, negeri tempatnya dimakamkan, sangat besar. Saat membuka kembali perguruan tinggi yang didirikannya, 17 Desember 1945, setelah Jepang bertekuk lutut, ia menggubah syair:

"Wahai bendera kebangsaan berkibarlah di angkasa; di atas bumi, di gunung nan hijau, setiap bangsa punya lambang kemuliaan; Dan lambang kemuliaan kita adalah merah putih."

Gaya dakwah Habib Idrus sangat halus dan simpatik, sangat berbeda dengan gaya gerak sejumlah ulama yang mengintroduksi gerakan di beberapa wilayah.

Ketokohan Habib Idrus muncul secara kultural dan turun ke Sang Cucu, Habib Sagaf Aljufri. Sampai kini, tidak sedikit tokoh nonmuslim yang berempati dan berebut membantu Habib Sagaf mengembangkan pendidikan di Sulteng. Tetapi, sebisanya Habib Sagaf menolak bantuan tersebut.

Habib Idrus (15 Maret 1881-22 Desember 1969) memancangkan tonggak Alkhairaat selama 26 tahun (1930-1956). Susah payah ia membesarkan lembaga pendidikan yang didirikannya, hingga pada 1956, menjangkau seluruh wilayah Indonesia timur.

Pada 1956 itu pula Muktamar Alkhairaat I diselenggarakan, bersamaan dengan peringatan seperempat abad Alkhairaat. Dalam pertemuan besar itu, lahirlah keputusan penting, yaitu struktur organisasi pendidikan dan pengajaran, serta disahkannya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Momen itu secara langsung menandai pemancangan tonggak Alkhairaat sebagai institusi modern.

Periode 1956-1964, masa konsolidasi ide. Pada masa delapan tahun itu, Guru Tua memberikan kepercayaan pada santrinya yang andal, dengan spesialisasi kajian. Para murid pilihan itu, antara lain KH Rustam Arsjad, KH Mahfud Godal, ahli ilmu tajwid dan tarikh, serta KH. S. Abdillah Aljufri, ahli Ilmu Sastra Arab dan Adab. Rustam terpilih jadi pimpinan pesantren karena ahli di bidang ilmu fikih dan tata bahasa Arab.

Seiring dengan itu Madrasah Alkhairaat terus berkembang, meski sarana transportasi dan komunikasi antardaerah belum sebagus saat ini. Pada 1964, Alkhairaat membuka Universitas Islam (Unis) Alkhairaat di Palu, dikomandoi Habib Idrus sebagai rektor.

Tetapi, hanya setahun, Unis dinonaktifkan, karena situasi dan kondisi tak memungkinkan. Sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi ditugaskan membuka madrasah di daerah-daerah terpencil. Ini upaya konkrit membendung komunisme, sekaligus melebarkan dakwah Islam. Pada 1969 perguruan tinggi itu dibuka kembali, meski hanya satu fakultas, Fakultas Syariah.

Pada 12 Syawal 1389 H, bertepatan dengan 22 Desember 1969 Habib Idrus bin Salim Aljufri atau lebih dikenal Guru Tua, wafat. Ia telah menutup 46 tahun kiprahnya di dunia dakwah dan pendidikan dengan mewariskan lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga kini. ***

Dikutip dari :
http://www.carikabar.com/inspirasi/157-tokoh/669-alkhairaat-jejak-kebesaran-guru-tua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar