Berdasarkan pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) bahwa Anak yang lahir dari luar perkawinan selama ini hanya memiliki hubungan perdata kepada ibu dan keluarga ibu.
Pada Jumat, 17 Februari 2012, MK mengeluarkan putusan uji materi atas Pasal 43 Ayat 1 UU
No 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan pemohon Machica Mochtar,
istri siri (alm) Moerdiono. Dalam putusan MK Nomor 46/PUU/VIII/2010 menyatakan, Pasal 43
Ayat 1 UU No 1/1974 yang menyebutkan, anak di luar nikah hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan
UUD 1945 dan HAM.
Berikut ini pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstisi :
[3.13] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum
mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum
(legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh
jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan
terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin
seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa
baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu,
tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki
hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak
adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang
menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung
jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan
hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala
berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum
kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara
seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di
dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek
hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas,
hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak
yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak
tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang
dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di
tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan
perkawinannya masih dipersengketakan;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut
di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”;
[3.15] Menimbang bahwa, berdasarkan seluruh
pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat
(2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar