Bismillahirrahmanirrahim. ------ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh ---- Ahlan wa sahlan wa marhaban biqudumikum lana. Selamat datang di blog ini, semoga bisa memperoleh hikmah di dalamnya.----

Kamis, 20 Oktober 2011

Kejarlah Nafkah Sampai ke Pengadilan

Tak perlu tergesa-gesa mengajukan cerai jika suami tak menafkahi Anda dengan layak. 
Cukup ajukan gugatan nafkah.


Tiap tahun pemerintah mengadakan sensus ekonomi. Dari situ diketahui pendapatan penduduk secara gamblang. Namun pemerintah tak pernah menyensus berapa suami yang tidak menafkahi istrinya atau berapa istri yang terpaksa 'alih profesi' jadi kepala keluarga lantaran suaminya pengangguran.

Suami menelantarkan istri bukanlah kisah baru. Di dunia nyata maupun di layar kaca begitu mudah ditemui. Tapi tak banyak yang tahu, ternyata istri yang tidak dinafkahi suaminya bisa mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu membikin gugatan cerai. Silahkan saja istri yang tidak dinafkahi secara layak mengajukan gugatan nafkah kepada suaminya, kata Hakim Agung MA, Andi Syamsu Alam, Rabu (22/8).


Lazimnya, gugatan nafkah disatu-paketkan dengan gugatan cerai. Istri yang mengajukan gugatan cerai biasanya menyertakan gugatan soal pengasuhan hak anak, harta bersama, dan nafkah. Menurut Andi, gugatan nafkah bisa berdiri sendiri karena pada dasarnya suami adalah kepala keluarga yang berkewajiban menafkahi istri dan anaknya.

Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Ini kalau Anda memegang konsep suami sebagai kepala keluarga. Kalau konsepnya istri yang menjadi kepala keluarga, atau keduanya bersama-sama sudah mengatur konsep lain, tentu lain ceritanya.

Pasal 34 UU Perkawinan
(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2). Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3). Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.



Belum populer
Di Cimahi Bandung pada 2003 lalu, gugatan nafkah pernah diajukan seorang istri yang bersuamikan seorang pengusaha. Sang istri menilai, suaminya tak menafkahinya secara layak, padahal dari segi finansial sang suami  sangat mapan. Kedua pihak, melalui pengacaranya masing-masing, bersidang di Pengadilan Agama (PA) Cimahi.

Majelis hakim, setelah babak adu bukti, menyimpulkan bahwa sang suami sebenarnya mampu menafkahi istrinya secara layak. Karena itu hakim memutuskan mengabulkan gugatan nafkah itu. Sang suami harus membayar nafkah yang dilalaikannya, kisah Asep Nursobah, pegawai Dirjen Badan Peradilan Agama, yang dulu bekerja di PA Cimahi.

Meski dibolehkan Undang-undang, gugatan nafkah memang belum popular di masyarakat. Banyak yang tidak tahu gugatan nafkah bisa diajukan. Bahkan kalau misalnya anak butuh biaya sekolah tapi bapaknya yang mampu ternyata tidak mau membiayai, itu bisa digugat, jelas Andi.

Hal positif dibolehkannya gugatan nafkah, ujar Andi, adalah utuhnya biduk rumah tangga. Hakim selaku pemutus sengketa selalu menekankan agar pasutri yang ingin bercerai membatalkan niatnya. Yang paling penting dalam gugatan nafkah adalah pembuktian. Harus jelas berapa penghasilan suami; berapa nafkah yang layak diberikan untuk istri dan anak, jelas Andi.

Unsur pidana
Bagi suami, sebenarnya masih untung bila istrinya hanya mengajukan gugatan nafkah. Sebagaimana ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), sejatinya suami yang menelantarkan istri dan anaknya dapat dikenai sanksi hukum. Ini merupakan delik aduan.

Yang dimaksud penelantaran dalam lingkup rumah tangga, sebagaimana Pasal 9 UU PKDRT, adalah "melakukan penelantaran kepada orang yang menurut hukum yang berlaku baginya atau karena perjanjian dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut".

Pasal 49 UU PKDRT menyatakan, suami  yang bertindak demikian akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta. Hanya, berdasarkan catatan LBH APIK, sejauh ini belum ada suami yang diseret ke hotel prodeo gara-gara menelentarkan istri dan anaknya.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga bisa menjerat suami yang menelantarkan anaknya. Tak lain karena prinsip umum hak asasi anak telah dilanggar, antara lain hak untuk mendapatkan yang terbaik dan hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang.

Dikutip dari : www.hukumonline.com, dimuat pada hari Kamis, 23 Agustus 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar