Bismillahirrahmanirrahim. ------ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh ---- Ahlan wa sahlan wa marhaban biqudumikum lana. Selamat datang di blog ini, semoga bisa memperoleh hikmah di dalamnya.----

Kamis, 11 November 2010

Sang Pencerah dari Timur

Sang Pencerah dari Timur

Berawal dari sebuah madrasah di Palu, Sulawesi Tengah, yang dibuka pada 14 Muharram 1349 Hijriah, bertepatan 11 Juni 1930 Masehi, sekolah yang dibiayai Habib Idrus bin Salim Ajufri terus berkembang pesat.
Bangunan sekolah sederhana yang dibangun dan dibiayai oleh Habib Idrus Bin Salim Aljufri itu, yang berkembang mencapai ratusan madrasah di kota-kota dan kampung-kampung di bagian Timur Kepulauan Indonesia, bernama Alkhairaat.
Madrasah buah karya Guru Tua, demikian Sayyid Idrus dipanggil oleh murid-muridnya, tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,  Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Irian  Jaya, serta Jakarta.
Oleh Guru Tua perguran itu diberi nama Alkhairaat dengan harapan keberkatan dari nama yang banyak disebut dalam Alquran itu, kata Sofyan Thaha Bachmid, Wakil Sekjen Pengurus Besar Alkhairaat.
Dalam rentang  waktu  39 tahun sejak Habib Idrus mendirikan Perguruan Alkhairaat hingga ajal menjemputnya pada 1969, sudah ada sekitar 420 madrasah Alkhairaat yang tersebar di Indonesia bagian timur.

Guru Tua mengandalkan usaha dagang yang dikelolanya untuk membiayai madrasah tersebut, selain juga mengandalkan swadaya masyarakat melalui wakaf tanah dan harta.
Ia tidak mendamba bantuan pemerintah karena Alkhairaat justru banyak menolong merekatkan bangsa dan memberdayakan kaum papa negeri ini dengan kemampuannya mengorganisasi dan memobilisasi sumber daya ekonomi secara mandiri untuk keberlangsungan pendidikan umat.
Menurut Sofyan Bachmid, Guru Tua total dalam membantu masyarakat yang terbelakang dalam hal pendidikan dan akidah. Hal itu dapat disimak dalam syairnya, "Aku ajak setiap muslim kepada ilmu dan taqwa  dengan kesahajaanku, hartaku, pena dan lisanku."
Ikhlas menjadi kunci utama kekuatan yang menyemangati dan melandasi Guru Tua dalam membangun kejayaan perguruan Alkhairaat. Niat ikhlas yang ditunjukkannya itu pula yang mampu menumbuhkan kepercayaan orang untuk berlomba-lomba mewakafkan tanah dan hartanya untuk kemajuan pendidikan.
Dalam beberapa kesempatan di masa hidupnya, Habib Idrus selalu menganjurkan murid-muridnya dan masyarakat untuk ikhlas dalam bekerja.
Lagi-lagi seruan iklas ini termaktub dalam syairnya. "Dan bukanlah jua maksud hati mendapat harta, pun beroleh pangkat sungguh, hanyalah semata untuk tujuan mencapai Keridhaan Allah menuju surga kenikmatan," Sofyan Bachmid mengutip syair Guru Tua.
Habib Idrus lahir  di Taris, Hadramaut, Yaman Selatan, pada Senin, 14 Sya’ban 1319 H atau 1899 M. Ia berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan.
Habib Idrus hafal Alquran pada umur 12 tahun
Ayahnya, Al-Allamah Al-Habib Salim, merupakan seorang ilmuwan dan tokoh yang mempunyai banyak karangan dan tulisan dari berbagai bidang ilmu, dan ia memegang jabatan sebagai kadi dan mufti di negerinya.
Ibunya, Syarifah Nur Aljufri,  mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Aru Matoa atau Raja yang dituakan di Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Pada usianya yang tergolong amat muda, kurang lebih berusia 19 tahun, ia telah menjadi  seorang ulama yang terkenal di tanah airnya.  Pada 1335H/1916M ia ditunjuk oleh Sulthan Hadramaut, Sultan Mansyur, untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai mufti atau kadi (Mahkamah Agung), suatu jabatan yang tidak dapat diberikan kecuali kepada orang yang berpengetahuan luas dan berwibawa.
Dalam buku Perguruan Islam Alkhairaat dari Masa ke Masa yang disusun oleh Pengurus Besar Alkhairaat disebutkan bahwa Indonesia bukan negeri asing dan baru bagi Sayyid Idrus.
Ia pertama kali datang ke negeri ini  pada saat berumur kurang lebih 17 tahun bersama ayahnya dengan maksud mengunjungi sanak keluarga yang berada di Pulau Jawa dan Sulawesi.
Kunjungan keduanya pada tahun 1922 berkaitan erat dengan sikap dan perlawanannya yang keras terhadap imprealisme Inggris di negarinya.
Pilihan ke Indonesia tidak hanya melepaskan kerinduannya dengan kampung halaman neneknya, tetapi sekaligus menetap dan berkiprah untuk umat Islam di Indonesia.
Setelah melanglang buana sebagai dai, pendidik, dan pedagang,  dia bertemu dan berkenalan dengan  beberapa ulama di Jawa, khususnya K H Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.
Maka, pada tahun 1929 Sayyid Idrus menuju Sulawesi melalui Maluku dan singgah di Ternate selama beberapa minggu.
Seterusnya ia  melanjutkan ke Manado  dan pada akhirnya  ia memilih Palu sebagai  tumpuan dan harapan pendidikan dan dakwahnya. Di lembah ini, Guru Tua mendirikan madrasah yang kemudian diberi nama Alkhairaat.
Mengembangkan perguran Alkhairaat bukan tanpa hambatan. Pembukaan madrasah di Wani, kota kecil di bagian utara Donggala, terpaksa dipindahkan ke Palu, yang kala itu masih dalam wilayah administrasi Donggala.
Pemerintah Belanda tidak memberi izin bagi kegiatan madrazah di Wani karena sebagian pengikut Guru Tua di Wani dituduh terlibat pemberontakan Salumpaga di Tolitoli.
Kepindahan perguruan Alkhairaat ke Palu tidak serta merta bebas dari pengawasan Pemerintah Belanda.
Perguruan Alkhairaat sempat dilarang Pemerintah Belanda karena ajaran Guru Tua, khususnya yang bersumber dari kitab Izhatun Nasyi’in, karya Musthafa Al-Ghalayani.
Kitab itu dianggap berbahaya karena dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk melakukan perlawanan. Perlakuan seperti itu masih tetap diberlakukan oleh Pemerintah Jepang.
Meskipun dilarang, Guru Tua tak pernah patah semangat. Ia terus bergerilya sambil mengajar, dan selama berpindah-pindah tempat selama 15 tahun, Guru Tua berhasil mendirikan 400 madrasah yang meliputi ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah, dan mualimmin (setingkat diploma).
Habib Idrus wafat tepat pada Senin 22 Desember 1969 atau 12 Syawal 1389. Kematiannya merupakan "pukulan telak" bagi masyarakat Sulawesi Tengah dan murid-murid yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia.
Habib Idrus  termasuk dalam 10 orang yang diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional, sesuatu yang pantas untuk pribadi agung yang buah karyanya masih dirasakan oleh sebahagian anak negeri.

dikutip dari : http://oase.kompas.com/read/2010/11/09/05261082/Sang.Pencerah.dari.Timur-3

1 komentar:

  1. syukurku ku titip pada alam
    atas hadirmu diruang kegelisahan umat
    kini kami dan mereka telah menggenggam
    amanahmu akan menghiasi pikir, laku dan tutur

    telah terukir dan tertulis ditiap kitab
    malaikat raqib tak henti memahat
    sejarah manusia mulia dan pembawa umat dihadapan nabi

    tinggal memacu semangat menuju cita dan cinta
    meraih kejayaan impian pendiri
    menebar cintanya akan keselamatan manusia
    agar bahagia berjumpa nabi dan rasul serta shalihin
    sesuai janji penguasa alam semesta yang raya ini.

    BalasHapus