Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) yang memberikan hak mendapatkan akta kelahiran dan
perlakuan yang sama pada anak yang lahir di luar pernikahan ditentang
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebab, MUI berpendapat bahwa pemberian
status yang sama pada anak yang lahir dari hubungan zinah, dianggap
melawan hukum syariah Islam yang dituangkan dalam putusan Fatwa MUI.
“Karena nyata pelanggaran terhadap syariat Islam, maka sebagai umat muslim tak perlu mematuhi putusan tersebut. Putusan tersebut juga melanggar Pasal 29 UUD 1945,” kata Ketua komisi bidang fatwa MUI, Ma’ruf Amin di kantor MUI Jakarta, Selasa (13/2).
Menurut Ma’ruf Amin, putusan MK itu perlu segera dianulir. Karena putusan MK telah mengacaukan tatanan hukum syariah Islam yang secara jelas mengatur persoalan anak dalam pernikahan.
Disebutkan ulama ini, putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 jelas melampaui kewenangannya. Pasalnya, putusan tersebut tak hanya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, tetapi juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktkan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Tentunya anak yang lahir dari hubungan tidak sah, yakni zinah menjadi ikut bermakna dalam putusan tersebut,” ungkapnya sambil membacakan putusan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang "Kedudukan Anak Hasil Zinah dan Perlakukan Terhadapnya".
Padahal, sambung dia, dalam pemaknaan hukum Islam sangat jelas dibedakan status anak yang lahir dalam perkawinan sah dengan anak dari hubungan tidak sah, yaitu perzinahan. Islam memberikan hak sama pada anak yang lahir dalam perkawinan sah dengan anak yang lahir melalui perkawinan siri. Namun, keputusan MK itu membuat status anak dari hubungan perzinahan menjadi sama dengan anak dari perkawinan sah. “Itu tidak dibenarkan. Islam sangat jelas membahas hal tersebut,” ujarnya.
Ketentuan hukum Islam, Ma’ruf Amin menjelaskan anak hasil perzinahan tidak mempunyai hubungan nasib, wali nikah, waris dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi memiliki hubungan nasib, waris dan nafqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. “Jelas anak hasil perzinahan itukan tak bisa meminta waris dari lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Nikahnya pun oleh wali hakim bukan wali nikah,” ungkapnya.
Kendati demikian, dia menegaskan MUI tetap mendukung upaya perlindungan terhadap anak yang dilahirkan. Dengan meminta pemerintah menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki penzinah, berupa mencukupi kebutuhan hidup anak serta memberikan harga setelah lelaki meninggal melalui wasiat wajibah. “Bukan wasiat warisan yagn hanya untuk anak lahir dalam pernikahan,” pungkasnya.
Lantas apa yang harus diperbaiki dalam putusan tersebut? Ma’ruf Amin meminta Mahkamah Konstitusi menganulir putusan itu. Meskipun dalam aturannya memang tidak dibenarkan. Tetapi, menurut dia pertimbangan dampak sosial dari keputusan itu sangat luar biasa. Dapat merusak tatanan hukum Islam yang sudah ada. Bahkan memicu perzinahan semakin lebih meluas.
“Pemerintah wajib melindungi anak hasil perzinahan. Karena anak hasil perzinahan tidak berdosa. Tak boleh menelantarkannya,” ujar ulama berbatik coklat dengan jas hitamnya itu.
Artinya, umat Islam tak perlu mematuhi putusan MK? Dia menyatakan putusan Negara yang bertentangan dengan hukum agama sudah pasti tak perlu dihormati. "Karena hukum agama lebih tinggi kedudukannya dari hukum negara," tegasnya. (rko)
“Karena nyata pelanggaran terhadap syariat Islam, maka sebagai umat muslim tak perlu mematuhi putusan tersebut. Putusan tersebut juga melanggar Pasal 29 UUD 1945,” kata Ketua komisi bidang fatwa MUI, Ma’ruf Amin di kantor MUI Jakarta, Selasa (13/2).
Menurut Ma’ruf Amin, putusan MK itu perlu segera dianulir. Karena putusan MK telah mengacaukan tatanan hukum syariah Islam yang secara jelas mengatur persoalan anak dalam pernikahan.
Disebutkan ulama ini, putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 jelas melampaui kewenangannya. Pasalnya, putusan tersebut tak hanya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, tetapi juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktkan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Tentunya anak yang lahir dari hubungan tidak sah, yakni zinah menjadi ikut bermakna dalam putusan tersebut,” ungkapnya sambil membacakan putusan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang "Kedudukan Anak Hasil Zinah dan Perlakukan Terhadapnya".
Padahal, sambung dia, dalam pemaknaan hukum Islam sangat jelas dibedakan status anak yang lahir dalam perkawinan sah dengan anak dari hubungan tidak sah, yaitu perzinahan. Islam memberikan hak sama pada anak yang lahir dalam perkawinan sah dengan anak yang lahir melalui perkawinan siri. Namun, keputusan MK itu membuat status anak dari hubungan perzinahan menjadi sama dengan anak dari perkawinan sah. “Itu tidak dibenarkan. Islam sangat jelas membahas hal tersebut,” ujarnya.
Ketentuan hukum Islam, Ma’ruf Amin menjelaskan anak hasil perzinahan tidak mempunyai hubungan nasib, wali nikah, waris dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi memiliki hubungan nasib, waris dan nafqah dengan ibunya dan keluarga ibunya. “Jelas anak hasil perzinahan itukan tak bisa meminta waris dari lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Nikahnya pun oleh wali hakim bukan wali nikah,” ungkapnya.
Kendati demikian, dia menegaskan MUI tetap mendukung upaya perlindungan terhadap anak yang dilahirkan. Dengan meminta pemerintah menjatuhkan hukuman ta’zir kepada lelaki penzinah, berupa mencukupi kebutuhan hidup anak serta memberikan harga setelah lelaki meninggal melalui wasiat wajibah. “Bukan wasiat warisan yagn hanya untuk anak lahir dalam pernikahan,” pungkasnya.
Lantas apa yang harus diperbaiki dalam putusan tersebut? Ma’ruf Amin meminta Mahkamah Konstitusi menganulir putusan itu. Meskipun dalam aturannya memang tidak dibenarkan. Tetapi, menurut dia pertimbangan dampak sosial dari keputusan itu sangat luar biasa. Dapat merusak tatanan hukum Islam yang sudah ada. Bahkan memicu perzinahan semakin lebih meluas.
“Pemerintah wajib melindungi anak hasil perzinahan. Karena anak hasil perzinahan tidak berdosa. Tak boleh menelantarkannya,” ujar ulama berbatik coklat dengan jas hitamnya itu.
Artinya, umat Islam tak perlu mematuhi putusan MK? Dia menyatakan putusan Negara yang bertentangan dengan hukum agama sudah pasti tak perlu dihormati. "Karena hukum agama lebih tinggi kedudukannya dari hukum negara," tegasnya. (rko)
http://www.jpnn.com/read/2012/03/14/120612/MUI:-Anak-Hasil-Zinah-Tak-Berhak-Menuntut-Ayahnya-#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar