Bismillahirrahmanirrahim. ------ Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh ---- Ahlan wa sahlan wa marhaban biqudumikum lana. Selamat datang di blog ini, semoga bisa memperoleh hikmah di dalamnya.----

Senin, 20 Juni 2011

METODA DAN TEKNIK PENERAPAN HUKUM PENGADILAN AGAMA


METODA DAN TEKNIK PENERAPAN HUKUM PENGADILAN AGAMA

Oleh : T a u f i q

A. Pendahuluan

            Menurut Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelsaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam antara lain di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, shadaqah, wakaf, dan ekonomi syari’ah. Penjelasan pasal tersebut menjelaskan pengertian masing-masing kewenangan tersebut beserta rinciannya. Berdasar penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “ekonomi Syari’ah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi:
a.         bank syari’ah;
b.         lembaga keuangan syari’ah;
c.         asuransi syari’ah;
d.         reasuransi syari’ah;
e.        reksadana syari’ah;
f.          obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka rnenengah syari’ah;
g.         sekuritas syari’ah;
h.         pembeyaan syari’ah;
i.          pegadaian syari’ah;
j.          dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k.         bisnis syari’ah.
 Menurut ilmu fikih dan ilmu hukum kewenagna tersebut dapat diklompokkan menjadi dua kelompok besar, kelompok al-ahwal syakhshiyyah dan al-amwal syar’iyyah.

 

Peristiwa hukum dalam bidang al-ahwal syar’iyyah lahir dari akad yang sarat dengan nilai-nilai. Sedang kegiatan-kegiatan dalam bidang al-amwal syar’iyyah  pada dasarnya lahir dari akad syari’ah yang berkaitan dengan al-amwal. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili dan menyelsaikan sengketa peristiwa-peristiwa yang erat kaitannya dengan kemanusiaan dan akad pada ekonomi syari’ah.
            Menurut Pasal 25 (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, setiap putusan pengadilan harus memuat dasar putusan tersebut dan pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang  dijadikan dasar untuk mengadili. Maka putusan pengadilan harus memuat fakta, dan norma hukum yang dijadikan dasar putusan tersebut serta akibat hukumnya. Putusan tersebut harus memanifestasikan algoritma penalaran hukumnya hingga sampai kepada akibat hukumnya (diktum putusan). Kalau putusan pengadilan tidak demikian maka putusan tersebut batal demi hukum. Dengan demikan putusan pengadilan Agama atas sengketa akad pada lembaga perkawinan ekonomi syari’ah, merupakan manifestasi dan penyelsaian sengketa tersebut.
            Maka proses pengambilan putusan pengadilan dalam menyelsaikan sengketa hukum tersebut ialah sebagai berikut:
  1. Menemukan fakta hukum (istbat al-waqi’ah)
  2. Menemukan hukumnya, yang terdiri dan mencari sumber hukumnya dan menemukan norma hukumnya (idhharu al-hukmi)
  3. Mentrapkan norma hukum tersebut atas fakta tersebut yang terdiri dan menafsir norma hukum tersebut dan mentrapkannya dengan menggunakan penalaran hukum (tathbiqu al-hukmi ala al-waqi’ah).
Algoritma tersebut dapat dirumuskan secara matematis sebagai berikut:
F x R = C
F : Fakta hukum.
R : Norma Hukum.
C : Kesimpulan atau Keputusan.
X : Penalaran hukum.
Kegiatan-kegiatan tersebut pada dasarnya lahir dan akad syari’ah. Hal ini berarti bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang mengadili dan menyelsaikan sengketa akad  pada perkawinan dan ekonomi syari’ah.
Dalam tulisan ini akan dititik beratkan pada sengketa kewarisan dan sengketa ekonomi syari’ah, mengingat kedua wewenag tersebut menjadi tolok ukur keefektifan Undan-undang Nomor 3 tersebut.
           
B. Penemuan fakta.
            Proses peenemuan fakta merupakan proses yang pertama dan utama dalam proses pradilan, terutama dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Proses ini dilakukan dalam tahap pemeriksaan perkara. Proses mi dimulai dan gugatan, dan jawab menjawab antara penggugat dengan tergugat dan disusul dengan proses pembuktian. Dalam proses mi akan ditemukan fakta-fakta yang diakui baik oleh penggugat maupun tergugat. Di samping itu dalam proses mi juga mungkin akan ditemukan fakta disengketakan oleh mereka. Versi fakta yang dikemukakan oleh penggugat berbeda dan bahkan mungkin bertentangan dengan versi fakta yang dikemukakan oleh tergugat. Kalau yang terakhir mi terjadi maka peradilan akan memasuki babak pembuktian. Sebelum memasuki tahap pembuktian terlebih dahulu diadakan pemilahan fakta-fakta tersebut. Fakta tersebut dibedakan mana yang merupakan fakta huku serta yang erat kaitannya dengan fakta hukum dari faakta diluar fakta hukum. Kemudian dirumuskan pokok sengketanya. Maka pengadilan setelah mendengar gugatan, serta jawab menjawab penggugat dan tergugat, akan memilah-milah fakta-fakta tersebut menjadi fakta yang disengketakan dan fakta yang tidak disengketakan (diakui). Pengadilan selanjutnya akan menganalisa fakta-fakta yang dikemukakan baik oleh penggugat maupun tergugat dan alat-alat bukti. Dari analisa ini akan dihasilkan fakta yang terbukti (dikonstatir).
Ada tiga metoda dalam pengumpula fakta dalam rangka penyelsaian sengketa di pengadilan, yaitu
  1. Metoda advesarial yaitu metoda pengumpulan fakta yang memberikan kewenangan penuh kepada pihak-pihak untuk mengumpulkan fakta serta mempresentasikannya. Sementara itu hakim hanya sebagai penjaga jalannya perentasi tersebut.
  2. Metoda inquisitorial, yaitu metoda pengumpulan fakta yang memberikan kewenagan luas kepada hakim untuk mengendalikannya.
  3. Metoda non peradilan yaitu metoda yang dikenal dengan merthoda A.D.R. (Alternative Dispute Resolution), yang antara lain dengan menggunakan teknik-teknik shulh.[1]
Untuk menyelsaikan sengketa ekonomi sayari’ah digunakan metoda pertama dan ketiga. Sedang untuk menyelsaikan seketa dalam bidang al-ahwal al-syhshiyyah digunakan metoda ketiga dan kesatu.
            Sebagaimana dijelaskan di muka bahwa kegiatan ekonomi syaria’ah pada hakekatnya merupakan kegiatan akad syar’i atau penjanjian. Berdasarkan pengalaman sebagian besar sengketa dalam bidang hukum perjanjian ialah mengenai cidra janji dan resiko. Cidra janji atau wanprestasi dan debitur dapat berupa:
a.         tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan;
b.         melakukan apa yang dijanjikannya, teiapi tidak sebagaimana dijanjikan.;
c.         melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.         melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
            Maka sengketa pada lembaga ekonomi syari’ah dapat diperkirakan pada umumnya mengenai ciderajanji dan resiko. Tipe-tipenya kemungkinan adalah sebagai berikut
1.         Tergugat tidak mengakui sama sekali adanya akad
2.         Tergugat mengakui adanya akad, dengan catatan:
2.1.1.   tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan
2.1.2.   melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.;
2.1.3.   melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
Dalam kasus tipe pertama penggugat harus membuktikan adanya akad tersebut dengan alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam hukum pembuktian. Dalam kasus tipe kedua pada umumnya tergugat akan membela din bahwa Ia tidak dapat melakukan sebagaimana yang disanggupi, atau tidak melakukan sebagaimana yang dijanjikan, atau melakukan tetapi waktunya terlambat, karena adanya keadaan yang memaksa atau diarurat, keadaan diluar kehendaknya, sehingga ia terpaksa tidak dapat rnelaksanakan janjinya sama sekali, atau dapat melaksanakannya tetapi akan mengalami kerugian yang tidak patut. Dalam kasus tipe kedua mi, penggugat harus membuktikan bahwa tergugat tidak melakukan apa yang disanggupi, atau tidak melakukannya sebagaimana yang dijanjikan, atau tidak tepat waktunya. Sedang tergugat harus membuktikan adanya keadaan rnemaksa (dlarurat) tersebut.
Sengketa kewarisan pada umumnya mengenai kedudukan hak dari harta warisan, dan perolehan masing-masing ahli waris.

C. Penemuan Hukum
            Setelah melalui analisa, pengadilan menemukan fakta hukum yang disengketakan tersebut. Maka langkah selanjutnya pengadilan mencari hukumnya dan sumber hukurn yang sah.
            Menurut Ilmu hukum, sumber hukum itu dapat dibedakan antara:
  1. Sumber hukum materiil ialah tempat darimana materi hukum itu diambil.
  2. Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dan mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum.[2]
Mengenai sumber hukum materiil (al-mashadir al-maudlu ‘iyyah), para pakar hukum
terbagi menjadi beberapa aliran, antara lain:
  1. aliran hukum alam, berpendapat bahwa sumber hukum materiil adalah hukum alam, yang dapat diketahui melalui akal atau melalui wahyu;
  2. aliran hukum positif, berpendapat bahwa sumber hukum materiil ialah kenyataan yang dapat disaksikan dan dialami. Sumber tersebut antara lain sejarah.
  3. Aliran Geny, yang merupakan sintesa antara aliran hukum alam dan aliran hukum positif. Aliran ini berpendapat bahwa pembentukan hukum bukan semata-mata menetapkan kenyataan, tetapi pembentukan hukum itu kegiatan penilaian atau pengkritisan terhadap kenyataan.[3]
Sumber hukum formil menurut ilmu hukum ialah:
a.         Peraturan Perundang-undangan;
b.         Kebiasaan;
c.         Traktat;
d.         Yurisprudensi;
  1. Doktrin.[4]
Pengadilan dalam mengadili sengketa pada umumnya akan menemukan hukumnya dan sumber hukum formil tersebut di atas dengan memperhatikan urutan peringkat di atas. Tetapi urutan peringkat di atas tidak berlaku dalam sengketa perikatan yang bersumber dan perjanjian. Sebab menurut Pasal 1338 KUHPt, perjanjian itu beriaku sebagai undang undang bagi yang melakukannya. Sementara itu norma hukum yang diatur oleh undang-undang itu, merupakan hukum pelengkap, bukan hukum yang memaksa.4 Maka sumber hukum untuk perkara sengketa yang bersumber dan perjanjian, urut-urutannya adalah sebagai berikut:
  1. Peijanjian/Traktat;Peraturan
  2. Perundang – undangan
  3. Kebiasaan
  4. Yurisprudens
  5. Doktrin.
            Sedang sumber hukum untuk mengadili perkara - perkara tersebut di atas yaitu sengketa akad pada perkawinan dan ekonomi syari’ah, ialah hukum Islam, yang sumber hukumnya dapat dibedakan antara:
1.      Sumber hukum materiil hukum Islam ialah:
1.1.   sumber hukum primer (al-mashadir al-ashliyyh) terdiri dari
1.2.   Alquran, yaitu kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw yang tertulis dalam mushhaf yang sampai kepada ummatnya secara mutawatir. Hukum-hukum yang dijelaskan oleh al-Quran dapat dibagi menjadi tiga:
1.2.1.1.Berupa sas-asas hukum seperti perintah bermusyawarah, perintah berbuat adil serta penintah menegakkannya, wajib menunaikan perjanjian, dharurat menghalalkan yang baram dan lain-lain.
1.2.1.2.Hukum secara garis besar seperti wajibnya shalat, wajibnya   haji, wajibnya diterapakannya hukum qisas, dan dibolehkannya jual beli serta dilarangnya nba.
1.2.1.3.Hukum secara terinci, seperti bagian ahli waris, tata cara menjatuhkan thalaq, dan perempuan-perempuan yangdilarang dinikahi.
1.3.   Sunnah yaitu yang bersumber dan Rasul saw selain al-quran, yang berupa sabda nabi, perbuatan nabi, dan apa yang ditetapkan naN. Hukum yang bersumber dan sunnah dapat dibedakan menjadi:
1.3.1.      hukum-hukum yang menguatkan hukum-hukum al-Quran;
1.3.2.      hukum-hukum yang menjelaskan serta memerinci hukum- hukum al-Quran;
1.3.3.      hukum-hukumyang baru sama sekali.
2.      Sumber hukum sekunder (almashadir al-taba ‘iyyah) yaitu: a.al-ijma’; b. Qiyas; c. A1-istihsan; d. A1-mashalih al-mursalah; e. Saddu at-dzarai’; f. ‘uruf atau kebiasaan
Sumber hukum formil hukum Islam, berdasarkan pendaqpat Prof Hazairin, bahwa mengikatnya hukum dalam sistem negara moderen harus ditetapkan oleh Undang-undang seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun J974, ialah:
a.         Peraturan perundang-undangan;
b.         Kebiasaan
c.         Yurisprudensi;
d.         Perjanjian; dan
e.         Fiqih Islam.
Sementara itu sumber pokok dari hubungan hukum ekonom syari’ah ialah perjanjian yang termasuk bidang mu’amalah murni. Menurut kaidah fikih, hukum dasar dari perbuatan hukum di bidang mu’amalah adalah mubah,[5]  dan firman
3)         Hukum secara terinci, seperti bagian ahli waris, tata cara menjatuhkan thalaq, dan perempuan-perempuan yang dilarang dinikahi.
b)         Sunnah yaitu yang bersumber dan Rasul saw selain al-quran, yang berupa sabda nabi, perbuatan nabi, dan apa yang ditetapkan naN. Hukum yang bersumber dan sunnah dapat dibedakan menjadi:
1)         hukum-hukum yang menguatkan hukum-hukum al-Quran;
2)         hukum-hukum yang menjelaskan serta memerinci hukum-hukum al-Quran;
3)         hukum-hukumyang baru sama sekali.
b.         Sumber hukum sekunder (almashadir al-taba ‘iyyah) yaitu:
a.         al-ijma’; b. Qiyas; c. A1-istihsan; d. A1-mashalih al-mursalah; e. Saddu at-dzarai’; f. ‘uruf atau kebiasaan[6]
2.         Sumber hukum formil hukum Islam, berdasarkan pendaqpat Prof Hazairin, bahwamengikatnya hukum dalam sistem negara moderen harus ditetapkan oleh Undang-undang seperti Undang-undang Nomor 1 Tahun J974, [7]ialah:
a.         Peraturan perundang-undangan;
b.         Kebiasaan
c.         Yurisprudensi;
d.         Perjanjian; dan
e.         Fiqih Islam.
Sementara itu sumber pokok dan hubungan hukum ekonom syari’ah ialahperjanjian yang termasuk bidang mu’amalah mumi. Menurut kaidah fikih, hukumasar dan perbuatan hukum di bidang mu’amalah adalah mubah, ~ dan firma Allah dalam surah al-Maidah: 1 yang artinya, “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu “, dan sabda Rasul dalam hadits shahih yang artinya, “kaum muslimin terikat oleh persyaratan mereka, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal “,8maka urut-urutansumber hukum ekonomi syariah ialah sebagai berikut:
a.               Perjanjian;
b.               Peraturan Perundang-undangan;
c.               Kebiasaan;
d.               Yrisprudensi;
e.               Fatwa Ulama atau Dewan Syari’ah Nasional (DSN)
f.                Fikih Islam.
Maka Pengadilan Agama dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utamanya ialah perjanjian, dan sumber hukum peiengkapnya ialah,  Peraturanperundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, fatwa ulama, dan fikih Islam.
                  Sebagaimana diuraikan di atas sumber hukum utama Pengadilan Agama untuk menyelsaikan segketa ekonomi syari’ah ialah perjanjian yang telahdibentuk oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Para pihak dapat menyimpangi norma-norma hukum dan sumber hukum formil hukum Islam lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan asas- asas ekononai syari’ah, khususnya asas-asas aqad syari’ah. Apabila hakim menganggap bahwa ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang disengketakan, tidak Iengkap, maka ia baru mencarinya dalam sumber hukum formil hukum Islam lainnya tersebut. Asas-asas akad syari’ah menurut Fathurrahman Jamil ada enam yaitu asas kebabasan, asas persamaan atau kesetaraan, asas keadilan, asas kejujuran dan kebenaran, dan asas tertulis. Olehkarena itu dalam akad syari’ah tidak botch mengandung:
I.                Unsur riba dalam segala bentuknya;
2.               Unsur gharar atau tipu daya;
3.               Unsur maisir atau spekulatif;
4.               Unsur dhulm atau ketidak adilan.
                  Jika pelaksanaan perjanj Ian menurut hurufnya justru akan memmbulkanketidak adilan, maka hakim dapat menyimpang dan isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikian jika pelaksanaan suatu perjanjian menimbulkan ketidak seimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam akad atau kontrak. Norma-norma hukum dan sumber hukum formil hukum Islam selain perjanjian, bersifat fakultatif. Lain halnya dengan norma hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam yang menghimpun hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum wakaf, merupakan norma hukum yang bersifat irnpratif, maka tidak boleh disimpangi.
                  Hukuman atau akibat yang dirasakan tidak enak oleh debitur ingkarjanji yaitu:
1.               mengganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau membayar ganti rugi;
2.               pembatalan perjanjian;
3.               peralihan resiko; dan
4.               membayar beaya perkara kalau sampai diperkarakan di pengadilan.
                  Maka perkara sengketa ekonomi Syari’ah tersebut dapat diperkirakan merupakan perkara mengenai wanprestasi dan akibatnya. Untuk mengadili perkara sengketa wan prestasi, hakim terlebih dahulu harus menetapkan adanya wanprestasi tersebut, Kalau debitur menyangkal adanya wanprestasi tersebut, maka kreditur harus membuktikannya. Hakim harus menemukan apa yang dijanjikan dan kapan harus dipenuhi. Apabila dalam perjanjian tersebut ketentuan waktu pemenuhan prestasi tidak ditentukan dengan tegas, maka debitur terlebih dahulu harus mendapatkan perintab (somasi) dan pengadilan untuk memenuhi prestasi tersebut. Apabila pada waktu yang telah ditentukan debitur tidak memenuhinya maka ia dianggap wanprestasi. Apabila wanprestasi tersebut terbukti maka pengadilan dapat menjatuhkan hukuman mengganti kerugian (ta ‘widh). Ta’widl tersebut dapat berupa penggantian pengeluaran beaya yang benar-benar telah dikeluarkan oleh kreditur, atau penggantian kerusakan yang menjadi akibat langsung dan wanprestasi rsebut. Ketentuan mi diambil dan kaidah “La diarara wa Ia dhirara” , dilarang merugikan orang lain atau dirinya sendiri, sebab merugikan orang lain dan din sendiri itu merupakan perbuatan dhulm. Menurut, ahli fikih diarar itu tidak boleh dibalas dengan diarar. Diarar tersebut harus dihilangkan dengan ta’widl. Menurut syari’ah menghukum debitur yang cidra janji, untuk membayar bunga dan keuntungan yang akan diperoleh, tidak dibenarkan. Tetapi pengadilan dapat menghukumnya dengan rnernbayar denda yang merupakan salah satu klausul dalam perjanjian yang telah disepakati. Analisanya adalah sebagai berikut: Syarat tambahan dalam akad itu dapat dibedakan menjadi syarat sah, dan syarat fasad. Syarat yang dibenarkan dan syarat yang tidak dibenarkan. Syarat yang dibenarka terdiri dan syarat yang menjadi tujuan akad, seperti syarat harus di bayar tunai, syarat yang bermanfaat bagi akad seperti adanya jaminan, dan syarat yang bermanfaat serta dikenal, seperti syarat untuk dapat menempati sementara rumah yang telah dijual. Sementara itu syarat yang tidak dibenarkan (fasid) terdiri dan syarat yang menentukan bahwa pihak kedua akan melakukan akad lain dengan pihak kesatu, syarat yang bertentangan dengan tujuan akad seperti barang yang telah dibeli tidak boleh dijual kembali, dan syarat yang menggantung akad tersebut seperti syarat jual bell dengan digantungkan dengan kedatangan seorang. Sementara itu klausu! adanya denda apabila pelaksanaan prestasi terlambat, berguna dan bermanfaat bagi tujuan akad. Oleh karena itu kalausul tersebut dapat dibenarkan. Kesimpulan mi diperkuat dengan dalil al-Quran dan hadits, Di samping itu debitur yang melakukan wanprestasi dapat dijatuhi hukuman untuk menanggung resiko yang bukan menjadi tanggungannya. Dengan ungkapan lain akad tersebut berubah\ dan ãkad amanah menjadi akad diamani. Terahir debitur tersebut dapat dihukum membayar beaya perkara mengenai sengketa tersebut.
                  Setelah diketernukan sumber hukumnya, Iangkah selanjutnya ialah menemukan nonnanya, menemukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Langkah terakhir dan peroses penemuan hukum ialah menafsirkan norma hukum tersebut. Penafsiran dilakukan terhadap perjanjian yang merupakan sumber hukum utama dalam mengadili sengketa kontrak, karena perjanjian itu terdiri serangkaian kalimat. Untuk menetapkaan isi perjanjian sehingga jelas diketahui maksud setiap pihak ketika mengadakan perjanjian. Karena teknik penafsiran bersifat netral, maka dapat dipergunakan teknik-teknik ahli hukum perdata pada umumnya. Menurut ilmu hukurn perdata ada tiga metoda penafsiran yaitu:
1.      Metoda penafsiran subjektif yaitu penafsiran kontrak dilakukan dengan berpegangseoptimal mungkin pada maksud yang sebenarnya dan para pihak, tanpa berpegangkepada kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut.
2.      Metoda penafsiran objektif yaitu metoda penafsiran yang menekankan padaapa yang tertulis dalam suatu kontarak, daripada melihat kepada maksud dan para pihak.
3.      Metoda penafsiran objektif dan subjektif yaitu metoda penafsiran yang bergerak antara metoda penafsiran objektf dengan metoda penafsiran subjektif.
Dalam menafsirkan kontrak, perlu diperhaatikan prinsip-prinsip antara lain:
1.      Pandangan utama dalam menafsirkan kontrak adalah adanya asumsi bahwa para pihak menggunakan bahasa dengan cara yang sama seperti kebanyakan orang menggunakannya.
2.      klausula yang dinegosasikan secara khusus lebih diperhatikan daripada klausula baku.
3.      klausula khusus lebih diperhatikan daripada klausula umum.
4.      Maksud utama dan para pibak lebih diutamakan.
5.      Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang beriktikad baik daripada pihak yang tidak beriktikad baik.
6.      Klausula yang ditulis tangan lebih diperhatikan danipada klausula yang dicetak.
7.      Klausula yang diketik lebih diperhatikan daripada klausula yang dicetak.
8.      Jika dalam kontrak ada dua klausula yang bertentangan, maka klausula yang lebih banyak dibicarakan lebih dimenangkan daripada klausula yang kurang dibicarakan.
9.      Penafsiran dilakukan untuk keuntungan pihak yang tidak memakai pengacara atau penasehat hukum atau tenaga ahli dalam proses drafting atau pembahasan kontrak, daripada yang menggunakan mereka.
10.  Dalam hal penafsiran kontrak, yang dimaksudkan adalah bahwa penafsiran kontrak dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun kontrak tersebut.
11.  Menyatakan sesuatu berarti tidak untuk memasukkan yang lain. Dalam hal mi dimaksudkan bahwa para pihak telah dengan khusus membuat daftar dan sesuatu, maka berarti tidak akan termasuk dalam daftar tersebut, kecuali ada kata-kata yang bersifat inklusif dalam daftar tersebut, sepert kata-kata “dan lain-lain” misalnya.
12.  Jika para pihak telah membuat daf’tar sesuatu dengan kata-kata inklusif seperti “dan lain-lain’ maka barang-barang lain lain yang sejenis dianggap termasuk barang yang didaftar.
13.  Arti dan satu kata dapat difahami dengan kata-kata lain yang menyertainya.
14.  Jika kebiasaan hukum atau kebijaksanaan pengadilan pada umumnya lebih menghendaki keabsahan kontrak, maka penafsiran harus untuk mengesahkan baerlakunya kontrak daripada membatalkan kontrak.
15.  Dalam menafsirkan kontrak, kebiasaan dalam perdagangan mengikat para pihak, meskipun salah satu pihak dalarn kontrak tersebut tidak mengetahui adanya kebiasaan tersebut.
16.  Suatu kontrak tertulis harus ditafsirkan secara keseluruhan, tidak bisa sepotong-potong.
17.  Istilah-istilab teknis harus ditafsirkan sesuai dengan pengertiannya secara teknis dalam bidang yang bersangkutan, tidak ditafsirkan dalam pengertiannya yang umum.
18.  Istilah khusus harus diartikan secara khusus darpada memakai arti yang berasal dan bahasa yang umum.
19.  Jika kata-kata perjanjian jelas, maka tidak diperbolehkan untuk menyimpang.
20.  Jika ada keragu-raguan, perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikan suatu hal dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkandirinya untuk itu.
Meskipun luasnya arti kata-kata dalam suatu perjanjian yang disusun, perjanjian itu hanya mengikuti hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak.” Berbeda dengan BW, fikih muamalat tidak membahas secara khusus mengenai metoda dan pninsip-prinsip penafsiran. Meskipun demikian dalam kitab fikih terdapat pembahasan-pembahasan kaidah-kaidah umum fikih yang dapat dijadikan pedoman dalam menafsi akad. Kaidah tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Sesuatu perkara ditentukan oleh maksud mengerjakannya, dengan kata lain, dampak dan suatu transaksi harus sesuai dengan tujuan dan transaksi tersbut.
2.      Hasil akhir dan suatu akad harus sesuai dengan maksud dan tujuannya, dan bukari dengan kata-kata atau kalimat.Konskwensinya, suatu akad penjualan yang bergantung pada hak untuk membelinya kembali, mempunyai kekuatan sebagai barang gadaian.
3.      Suatu keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan.
4.      Sebagai prinsip dasar, sesuatu itu harus tetap sesuai dengan hukum asalnya.
5.      Sesuatu yang sudah ada sejak dahulu, harus dibiarkan sebagaimana adanya.
6.      Mengumpulkan atau melaksanakan suatu kalimat lebih utama daripada menyi-nyiakannya.
7.      Apabila arti tersurat tidak dapat diterapkan, maka dapat digunakan makna tersirat.
8.      Jika suatu kalimat tidak mempunyai arti apa-apa, abaikanlah semuanya.
9.      Lafadh yang mutlak diterapkan dalam kemutlakannya, sepanjang tidak ada bukti yang membatasi makna tersebut, baik dan nash hukum maupun hasil pemahaman yang mendalam.
10.  Tidak bisa diterima bagi sesuatu yang samar-samar yang sudab tercemar oleh
11.  kekeliruan yang jelas.
Sebelum hukum tertulis tersebut diterapkan, terlebih dahulu harus difaharni maksudnya, ditafsirkan. Ada beberapa aliran penafsiran tersebut menurut ahli hukum, yaitu:
1.      Aliran Tekstual yaitu aliran yang berpendapat bahwa menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah memahami maksud pembuatnya ketika membuatnya, oleh karena itu untuk menafsirkannya digunakan teknik penafsiran gramatikal, historis, sosiologis dan lain-lain teknik penafsiran untuk mengetahi pembuat peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi kekosongan hukum, maka hakim meneliti kemungkinan pemecahan problem hukum oleh pembuatnya seandainya diajukan kepada mereka.
2.      Aliran kontekstual, yaitu aliran yang berpendirian bahwa untuk menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan penafsir harus memahami peraturan tersebut diterapkan bukan ketika peraturan tersebut dibentuk. Maka hasilnya dapat bertentangan dengan teksnya (kontra legem). Kalau terjadi kekosongan hukum, maka hakim membentuknya sendiri berdasarkan konteks sosial, politik dan ekonomi ketika pembentukaimya.
3.      Aliran ilmiyyah yaitu aliran yang berpendirian bahwa menafsirkan peraturan pertama-tama menggunakan teknik yang digunakan oleh aliran pertama ters~u,. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hakim mencarinya dan sumber-sumber hukum yang sah menurut hukum yang berlaku. Apabila cara yang kedua ini dapat menghasilkan atau tidak memuaskan, maka hakim menempuh cara pembentukan hukum berdasarkan jiwa peraturan tersebut dengan memperhatikan sistem sosial, politik dan ekonomi yang berlaku.
Pengadi lan dalam keempat lingkungan peradilan di Indonesia menganut aliran yang
ketiga. Teknik penafsiran yang dipergunakan antara lain:
1.      Teknik penafsiran gramatikal yaitu penafsiran menurut tata bahasa atau katá-kata, Temk mi digunakan sebab pembuat undang-undang menyatakan kehendaknya dengan kata-kata dan bahasa yang berlaku.
2.      Teknik penafsiran histons atau sejarah yaitu dengan meneliti sejarah dan undang- undang yang bersangkuta, sebab setiap peraturan perundang-undangan mempunyai sejarah dan dan sejarah peraturan perundang-undangan mi hakim mengetahui maksud dan pembuatnya.
3.      Teknik penafsiran sistematis yaitu suatu penafsiran yang menhubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dan peraturan perundang-undangan yang lain.
4.      Teknik penafsiran sosiologis atau teleologis yaitu penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran mi dilakukan agar penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya ialah kepastian hukum berdasar asas keadilan.
5.      Teknik penafsiran otentik yaitu penafsiran secara resmi, penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan itu sendiri dan tidak yang lain.
6.      Teknik penafsiran perbandingan yaitu suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum yang lama dengan hukum positif yang berlaku saat mi, antarahukum nasinal dengan hukum asing dan hukum kolonial.
7.      Teknik penafsiran futuristik yaitu menafsirkan peraturan perundang-undangan yang sekarang berlaku dengan peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan.
Hakim Pengadilan Agama dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan dalam bidang hukum yang menjadi kewenangannya tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Dalam ha! terjadi kekosongan hukum, hakim Pengadilan Agama membentuk hukum dengan menggunakan metoda dan teknik pembentukan hukum Islam menurut teori hukum Islam dan teknik yang dipergunakan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu antara lain:
1.      Teknik takhyir yaitu dengan memilih pendapat-pendapat para ulama mazhab yang dominan di Indonesia yaitu mazhab Syafi’i;
2.      Teknil talfiq yaitu dengan mencangkok pendapat mazhab-mazhab lain diluar mazhab Syafi’i, meskipun di luar mazhab empat;
3.      Ijtihad baru atau reinterpretasi, dengan menggunakan teknik-teknik ijtihad menurut teori ilmu fiqh,, antara lain qias, istishlah, istihsan, dan mencangkok adat yang tidakbertentangan dengan syariah. Sementara itu sekarang sedang dintrodosir teknik nasikh-mansukh, yaitu penundaan berlakunya suatu hukum berhubung kondisinya belum matang untuk mi.
Sebagai contoh untuk teknik yang pertama tersebut yaitu mengenai kasus gugatan gantirugi hubungan suami isteri yang tidak dipenuhi oleh suarninya. Hal mi tidak diatur dalam KHI. Maka hakim memilih pendapat ulama syafiyyah. Dalam fikih syafiyyah diatur tentang kewajiban suami memben nafakah dan tempat tinggal. Hanya saja ada perbedaan antaranhak maskan dengan hak maskan. Apabila hak nafakah apabila tidak dipenuhi, maka ia merupakan hutang suami sebab nafakah untuk tamlik, isteri berhak memiliknya.. Sedang apabila hak maskan tidak dipenuhi, maka tidak merupakan hutang, sebab isteri hanya berhak mengambil manfaat maskan tersebut. Hubungan suami isten juga hanya mengambil manfaatnya saja, karena itu isteri tidak berhak meminta ganti rugi.Untuk teknik ketiga dapat dikemukakan contoh tuntutan persamaan bagian warisan anak perempuan dengan anak laki-laki, sehubungan dengan sosial, seuai dengan Pasal 176 jo Pasal 229. Untuk kasus mi dapat digunakan teknik nasikh dan mansukh dan Prof.Ahmad Hasan Mahmud. Untuk memahami suatu ayat ahkam dengan tepat, digunakan metode memahaminya berdasarkan latar belakang sosial yang menyertainya, dan metoda nasikh dan mansukh. Mengawali pemahaman terhadap ayat-ayat kewarisan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengeai kedudukan perempuan path umumnya di thiam Al-Quran. Untuk ini akan dikemukakan beberapa ayat al-quran yang menggambarkannya. Allah berfirman antara lam dalam surah al-Nisa’ ayat 1 sebagai benkut:
“Wahai manusia ! Bertakwalah kepath Tuhanmu yang telah menciptakan dan din
yang satu (Adam) “                                      
Dalam ayat mi dijelaskan bahwa asal kejadian orang laki-laki dan perempuan itu sama, yaitu dan “nafsun wahidah” atau satu mahiuk hidup. Oleh karena itu kedudukan dasamya adalah sama, balk dalam kehidupan sosial, hukum, politik, budaya dan hukum. Penafsiran ini diperkuat oleh Ayat 70 dan surah al-Isra’ Sebagai berikut:
“Dan sungguh kami telah memulyakan anak cucu Adam”    
Dalam ayat im Allah dengan tegas menyatakan bahwa orang laki-laki dan perempuan sama-sama dianugrahi kedudukan yang sama. Dalam surah al-Baqarah ayat 187 Allah berfirman:
 “Mereka adalah pakaian bagi kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” 
Ayat tersebut secara metafora menyatakan bahwa hak dan kewajiban antara orang laki-laki adalah sama. Disamping ayat-ayat tersebut ada ayat yang dengan tegas bahwa kedudukan orang laki-laki dan perempuan adalah sama yaitu ayat 228 dan surah Al-Baqarah sebagai berikut:
“Dan mereka para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewaibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka”                                      
Dan ayat mi dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya kedudukan antara orang laki-dan perempuan adalah sama, tetapi dalam beberapa masalah orang laki-laki dibenkan kedudukan berbeda dengan orang perempuan, karena sebab-sebab diluar masalah gender’ Menurut J.Rawls dalam prinsip yang kedua mengenai equality mengajarka, bahwa prinsip equality tersebut terpasa dapat disimpangi dalam menata sosial dan ekonomi asal memenhi dua persyaratan sebagai berikut:
1.      prisip equality dapat disimpangi apababila anggauta-anggauta masyarakat yangpaling tidak sukses dalam penataan ekonomi, mendapatkan keuntungan yang paling besar.
2.      Prinsip equality dapat disimpangi dalam penataan sosial dan politik, apabilapenataan tersebut membenkan kesempatan dan peluang yang sama bagi setiapanggauta masyarakat.
Maka berdasarkan ajaran keadilan J. Rawls, ayat yang memberikan ketidak samaan antara orang laki-laki dan perempuan tersebut dalam rumah tangga, dalan bagian anak lalaki-laki dua kali bagian anak perempuan dalam konteks kondisi masyarakat Arab pada masa pra Islam, tidak melanggar prinsip keadilan. Di samping ayat-ayat tersebut, masih banyak lagi ayat-ayat yang memberikan prinsip kesetaraan gender, anatara lain surah 33 :35, 43 : 70, 16 : 97, 4 : 19. dan lain-lain. Teon-teori dalam paragraf im dan paragrap sebelumnya, akan penulis pergunakan dalam menganalisa ayat-ayat hukum kewarisan,dalam paragrap berikut.
Ayat-ayat yang mengatur kewarisan dalam Al-quran adalah sebagai berikut:
1.      Surat Al-Nisa’ ayat 7
“Bagi laki-laki ada hak bagian dan harta peninggalan kedua orang tua dankerabatnya, dan bagi perempuan ada hak dan kedua ada hak bagian dan harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatanya, baik sedikit aua banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan”
2.      Ayat 11 ayat tersebut
“Allah berwasiat kepadamu tentang pembagian warisan anak-anakmu yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya dua atau lebih, maka bagian mereka dua pertiga, dan harta harta yang ditinggalkan       setelah dipenuhi yang dibuatnya dan atau telah dibayar hutangnya.Tentang orangtUamu dan anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya baginu. mi adalah ketepan Allah. Sunggah Allah Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana.”
Di samping dua ayat tersebut masih ada dua ayat lagi yang mengatur tentang kewarisan yaitu ayat 12, 19, danl76 dan surat al-Nisa’. Ayat 7 tersebut mereformasi, bahkan membalik hukum kewarisan Arab pra Islam sesuai dengan sistem sosialnya, merupakan hukum kewansan dengan sistem unilateral menjadi sstem kewarisan bilateraL Sedang ayat 176 mereformasi sistem kewarisan Arab yang menganut sistem ‘ashabah menjadi sistem bahwa ahli waris utama ialah janda, duda, kedua orang tua, keturunan ahli waris, selama mereka masih ada maka kerabat yang lain tidak berhak bagian dan harta peninggalan, kecuali ada wasiat. Oleh karena fokus tulisan mi adalah masalah kedudukan perempuan hususnya anak perempuan dalam hukum kewarisan syariat Islam, maka ketiga ayat yang lain tidak dicantumkan dalam tulisan im secara lengkap, karena sempitnya waktu, olah karena itu para peserta untuk menelaahnya dalam buku-buku tafsir al-Quran. Penulis akan fokus kepada ayat 11 tersebut. Masalah pokok yang hams dijawab adalah pengertian ayat mi, statis (qath ‘iyyatu al-wurud wa al-dalalah) atau dinamis (dhanny). Pertama tama perlu diingat bahwa ayat ini dimulai denga kata “yushikumu Allahu” dan sebelum penghujung ayat mi dicantumkan kalimat “mimba’di” washijyatin tushina biha au dam” berarti ayat mi tidak bermaksud menghapus lembaga wasiat dan hutang. Hal mi berarti masih memberi ruang gerak kepada kemauan manusia hususnya pewaris. Penggunaan frasa “yushikum” tidak digunakan kata “kutiba” memberikan ruang gerak pilihan manusia, sesuai dengan ayat im sebagai jawaban atas permintaan nasehat seoarang kepada Rasulallah saw path masa itu, dan latar belakang sistem hukum kewarisan Arab pra Islam yang bertolak belakang dengan ketentuan ayat mi. Ketentuan ayat 11 berbenturan dengan hukum kwarisan adat Arab. Agar ketentuan ayat mi dapat ditenma digunaka kata “yushikum” yang artinya diminta untuk dipertimbangkan, dan ayat mi memberikan bagian warisan kepada anak laki-laki separo bagian anak laki-laki, belum penuh. Kalau seandainya anak perempuan diberikan sama dengan bagian anak laki-laki, mereka akan berontak. Hal mi dapat didiperkirakan berdasar reaksi keras setelah turunnya ayat tersebut sebagaimana diriwayatkan Imam al-Thabari bahwa setelah ayat tersebut turun memberikan bagian warisan kepada anak perempuan dan kedua orang tua, mereka menunjukkan rasa ketithk senangan mereka terhathp ketentuan barn tersebut serta menggrutu dan menyatakan: orang perempuan diberikan bagian warisan seperempat dan seperdelapan, anak perempuan separo bagian, sedang mereka tithk thpat ikut serta berperang dan mengumpulkan haiti rampasan.Karena itu jangan membicarakamiya, mudah-mudahan Rasulallah saw lupa atau kita akan mengusulkan perubahan.Artinya hukum ayat mi tidak statis, masih membuka kemungkinan untuk perubahan seirama dengan perubahan kedudukan perempuan dalam sosial, termasuk perkawinan, sehubungan dengan perubahan sistem perekonomian, pendidikan, teknologi dan lain-lain. Ketentuan ayat mi merupakan lompatan besar bagi kedudukan perempuan thiam hukum kewarisan path masa ita, path medio pertengahan abad ketujuh Masehi. Pada masa itumasih berlaku pandangan bahwa materi bahan kejadian laki-laki Iebih unggul daripada bahan kejadian orang perempuan, Mereka diperlakukan sebagai objek pemenuhan kebutuhan orang laki-laki. Karena itu pihak-pihak yang mengkritik habis-habisan ayat tersebut bahkan mereka mengkritik kepada Islam dengan ukuran perkembangan sekarang, adalah tidak adil.. Sebenarnya ayat tersebut masih membuka kemungkinan untuk memberikan bagian warisan kepada anak perempuan, sama dengan bagian warisan anak perempuan. Demikian juga pihak yang konserfatif bahwa ayat tersebut bersifat statis, juga tidak tepat. Sebab ketentuan azazi tentang persamaan kedudukan hukum anak perempuan dengan kedudukan hukum anak laki-lakii sebagaimana diuraikan di muka, tidak dihapus tetapi hanya pelaksanaannya saja, yang ditunda (dinasakh) karena sistem soslal menuntutnya, demi keadilan pada masa itu. Sekarang mi terbuka kemungkinan rnemperlakukan persamaan hak kewarisan antara anak perempuan dengan anak laki-laki (mendapat bagian yang sama dan harta peninggalan).

D. Penerapan Hukum.
                  Setelah fakta tersebut ditemukan, maka ia dipevah-pecah menjadi unsur-unsur dandisusun secara sistematis, sehingga membentuk satu pengertian yang utuh. Demikian juga dilakukan terhadap norma hukum yang ditemukan. Kemudian disusun tabulasi sebagai berikut:
                  Norma Hukum                  Fakta-fakta                  Alat Bukti
                  Unsur 1                             Fakta 1                                    Alat bukti 1
                  Unsur 2                             Fakta 2                                    Alat bukti 2
                  Unsur n                             Fakta n                                    Alat bukti n

                  Akibat-hukum

                  Model dasar penyelsaian suatu sengketa dalam proses peradilan dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

Norma hukum


    Fakta-fakta

   Alat-alat Bukti
Unsur 1

Fakta 1

Alat bukti 1
Unsur 1 M 1
Fakta 1 M 1
Alat bukti 1 M 1
Unsur 1 M 2
Fakta 1 M 2
Alat bukti 1 M 2
Unsur 2

Fakta 2

Alat bukti 2
Unsur 2
Fakta 2 P
Alat bukti 2 P




   




     Alat bukti 2 P C
Non unsur 2
Fakta 2 D
Alat bukti 2 D




    




      Alat bukti 2 D C
Unsur 3

Fakta 3

Alat Bukti 3
Unsur 3

Fakta 3




                  Dan tabulasi diatas dapat diketahui beberapa kemunkinan kasus dalam suatu  sengketa:
1.               Salah satu unsur hukumnya tidak jelas, karena itu mungkin ditafsirkan dengan makna M 1 dan makna M 2, maka masing-masing makna memerlukan fakta Ml dan fakta
M2 yang masing-masing harus dibuktikan dengan alat bukti M 1 dan alat bukti M2.
2,               Salah satu unsur norma yang dijadikan dasar hukum penggugat dibantah oleh tergugat. Unsur hukum yang dijadikan dasar fakta penggugat adalah fakta 2P dengan alat bukti 2P, dan diperkuat dengan alat bukti 2CP. Sedang tergugat membantah dasar hukum unsur 2 P (non unsur hukum) dengan alat bukti 2D dan memperkuatnyadengan alat bukti 2 C D.
                  Setelah melalui analisa tersebut diatas, selanjutnya pengadilan akan memberikan akibat hukum kepada peristiwa hukum tersebut dengan menggunakan penalaran ilmu logika melalui metoda silogisma. Norma hukum sebagai premis mayomya, fakta sebagai premis minornya, dan akibat hukumnya sebagai kesimpulannya. Untuk mi Pengadilan akan mempertimbangkan apakan fakta-fakta tersebut dapat dikwalifikasi kedalam unsur- unsur norma hukum. Kalau semua fakta-fakta tersebut (Fakta 1 sampai dengan n) dapat dikwalifi sir kedalam unsur-unsur norma hukum (Unsur I sampai dengan n), maka akibat hukum tersebut dapat diterapkan kepada Fakta-fakta hukum tersebut.
                  Setelah pengadilan menyimpulkan dengan menggunakan silogisma tersebut, pengadila akan melakukan finishing kesimpu tan tersebut dengan mempertimbangkan dan segi keadilan. Putusan pengadilan terakhir adalah kesimpulan dan penggunaafl metoda silogisma setelah dipertimbangkan dari rasa keadilan.
                  Algonitma proses dimuka dan penemuan fakta sampai dengan penerapan hukum, dituangkan dengan lugas dalam putusan pengadilan dalam pertimbangan hukum, duduknya perkara dan hukumnya.
Untuk menggambarkan algoritma penerapan hukum tersebut secara konkrit dalam paragrap ini akan dicontohkan algoritma penerapan pasal 187 ke 3 KUHP, yaitu sebagai berikut :
Ad. II. Unsur “untuk melakukan salali satu kejahatan dalam pasal 187 ke-3 KUHP yaitu dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir jika karena perbuatannya tersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain danmengakibatkan orang mati;
                  Menimbang, bahwa pasal 187 ke-3 KUHP menurut hemat majelis hakim mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.               Dengan sengaja;
b.               Menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir;
c.               Membahayakan nyawa orang lain;
d.               Mengakibatkan orang mali;
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur pasal 187 ke-3 KUHP
tersebut diatas, Pengadilan Negeri mengambil pertimbangan sebagai
berikut:
Ad,a. Unsur “Dengan Sengaja”.
                  Menimbang, bahwa menurut Memonie Van Tacichting (MVT) dengan
sengaja atau opzet adalah “menghendaki atau menginsyafi terjadinya
Menimbang, bahwa dalarn ilmu hukum pidana para sarjana telah menerirna adanya 3 (tiga) jenis kesengajaan yaitu:
a.               Kesengajaan sebagai rnaksud;
b.               Kesengajaan dengan kepastian atau keharusan;
c.               Kesengajaan dengan rnenyadari kernungkinan;
                  Menimbang, bahwa menurut Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas- azas Hukurn Pidana”, mengatakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja ialah perbuatan yang bertekad dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Jadi orang harus berminat untuk melakukan perbuatan itu dan ia hams tahu apa yang dilakukan. Atau dengan kata lain akibat yang teijadi atau yang timbul adalah tujuan yang dikehendaki oleh sipelaku. Dalarn hubungan dengan dakwaan tersebut berarti “timbulnya suasana terror atas r~sa takut terhadap orang orang secara meluas     dan seterusnya. Adalah tujuan yang dikehendaki oleh si pelaku in casuterdakwa;
                  Menimbang, dalarn peledakan born di Bali, benar terdakwa tidak ikut melakukan secara langsung peledakan born tersebut, narnun dengan adanya kata-kata dan terdakwa yang dapat diartikan memberi persetujuan kepada Amrozi dan kawan-kawan untuk melakukan acaranya tersebut, dengan kata-katanya yaitu “terserah kalian yang tahu situasi dilapangan”. Dengan kata-katanya tersebut semestinya terdakwa menyadari kernungkinan yang akan terjadi serta akibatnya, karena ia sebagai seorang ustadz akan didengar kata-katanya oleh pengikut- pengikutnya. Selain dan itu terdakwa juga patut rnengetahui bahwa mereka yang terlibat born Bali adalah orang-orang yang telah mendapat pendidikan/pelatihan tentang pembuatan dan peledakan born di Pakistan/Afghanistan, rnisalnya All Imron dan Mukhlas sempat berternu
Menimbang, bahwa apabila pertimbangan diatas dihubungkan dengan penjelasan MVT dan pendapat para sarjana tentang kesengajaan, maka perbuatan terdakwa sekalipun tidak ikut langsung dalam peledakan, akan tetapi memenuhi maksud penjelasan MUT tentangkesengajaan dan memenuhi pula rnaksud kesengajaan dengan menyadari kemungkinan sebagaimana pendapat para ahli hukum tentang teori
                  Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas Pengadilan Negeri berpendapat unsure dengan sengaja mi telah terpenuhi;
Ad. b. tJnsur “Menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir”.
                  Menimbang, bahwa selanjutnya adalah suatu kenyataan dengan meledaknya born di Bali yang dilakukan orang-orang tersebut di atas pada tanggal 12 Oktober 2002, akibat ledakan tersebut telah mengakibatkan kebakaran pada bangunan Sari Club dan Puddy’s Pub dan sekitar Konsulat Amerika di Bali serta banyaknya korban jiwa yang rneninggal serta rusak/hancurnya harta benda; seperti diterangkan oleh saksi I Putu Eka Mertawan (petugas Satlak Peledakan) bahwa yang ia catat dalam peristiwa peledakan tersebut terdapat korban jiwa meninggal 202 (dua ratus dua) orang, 3 (tiga) orang hilang, 325 (tiga ratus dua puluh lima) orang luka-luka terdiri dan 37 (tiga puluh tujuh) orang asing dan 165 (seratus enam puluh lima) orang Indonesia. Dan selain itu kendaraan yang rusak ; roda dua 24 (dua puluh empat) unit, roda empat 22 (dua puluh dua) unit dan kerugian secara fisik setelah dihitung sekitar 5,9 milyar;
                  Menimbang, bahwa dan fakta hukum dari pertimbangan diatas dengan rnudah dapat dipahami bahwa unsur menimbulkan ledakan dan kebakaran telah terpenuhi, sedangkan unsur menimbulkan banjir tidak perlu dipertimbangkan lagi karena unsur ini hersifat alternatif. Dengan terpenuhinya unsur ledakan dan kebakaran sudah cukup untuk
menyatakan bahwa unsur kedua mi telah terpenuhi;
Ad. c. Unsur “Membahayakan nyawa orang lain”.
                  Menimbang, bahwa sudah menjadi kenyataan (notoire feiten) pula bahwa peledakan born di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 membahayakan nyawa orang lain sebagaimana diterangkan sâksi I Putu Eka Mertawan bahwa dalarn peledakan born di Bali itu tercatat 3 (tiga) orang hilang, 325 (tiga ratus dua puluh lima) orang luka-luka. Data mi rnenunjukkan begitu banyak orang yang merasakan langsung sakit raga dan terancam jiwa/nyawa akibat dan ledakan dan kebakaran yang ditimbulkan oleh born dimaksud;
                  Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas menurut hernat majelis hakim unsur ketiga rnembahayakan nyawa orang lain mi,telah terpenuhi;
Ad. d. Unsur “Mengaklbatkan orang mati”.
                  Menimbang, bahwa juga sudah menjadi kenyataan yang diketahuiumum (Notoire feiten) bahwa peledakan born di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 mengakibatkan 202 (dua ratus dua) orang meninggal dunia dengan perincian 37 (tiga puluh tujuh) warga negara asing dan 165 (seratus enam puluh lima) warga negara Indonesia, sebagaimana diterangkan saksi I Putu Eka Mertawan;
                  Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas menurut rnajelis hakim unsur keempat mengakibatkan orang mati telah terpenuhi, dengan demikian seluruh unsur yang terkandung dalam pasal 187 ke-3 KUHP telah terpenuhi dengan seutuhnya;
Menimbang  baahwa berdasarkan pertimbangan di atas ternyata semua unsur yang tekandung dalam pasal 187 ter jo Pasal 187 ke-3 KUHP telah terpenuhi dengan seutuhnya. Di mana selama persidangan berlangsung, majelis hakim tidak melihat adanya alasan-alasan pemaaf atau pembenar baik dalam diri terdakwa (factor internal) maupun diluardiri terdakwa (factor eksternal) yang dapat menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi terdakwa. Oleh karena itu majelis hakim berkesimpulan bahwa terdakwa Abu  telah terbukti secara sah dan meyakinkanbersalah inelakukan tindak pidana. Sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kedua lebih subsidair, melanggar pasal 187 terjo pasal 187 ke-3 KUHP;
                  Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, maka terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya dan dibebani pula membayar biaya perkara;
                  Menimbang, bahwa dengan demikian majelis hakim telah tidak sependapat baik dengan tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum maupun dengan nota pembelaan tim penasehat hukum terdakwa dan pembelaan dan terdakwa secara pribadi;
                  Menimbang, bahwa masa tahanan yang telah dijalani terdakwa harus dikurangkan segenapnya dan pidana yang dijatuhkan, dan terdakwa dipenintahkan tetap berada dalam tahanan;

E. Penutup

                  Untuk memperjelas uraian di muka, dalam paragrap mi akan dianalisa kasus antara PT Alam Subur Qurnia Alam Semesta (ASQAR) dan sudut hukum Ekonomi Syari’ah. ASQAR menawarkan kepada investor untuk menyediakan modal bagi kegiatan dibidang agnibisnis yang dikelola oleh Asqar, menggunakan istilah perjanjian Pengelolaan Proyek Kerja sama Agnibisnis, namun dan isi peijanjian tersebut dengan jelas terlihat mekanisme hasil pembagian penjualan produk- produk antara investor dengan Asqar. Tetapi akhirnya terjadi sengketa antara investor dengan Asqar. Menurut pengadilan Negeri kasus ml dikategorikan sebagai kasus ingkar janji dalam bidang hutang piutang, dan diberikan akibat hukum sesuai hukum hutang piutang. Kalau ditinjau dan segi hukum bisnis Syari’ah, apakah benar ml merupakan kasus hutang piutang menurut hukum bisnis Syari’ah atau tidak. Untuk mi akan dianalisa dan segi hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Menurut Pasal 3 dan perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Perjanjian Pengelolaan Proyek Kerja sama Agrobisnis ialah:
1.               Menyediakan lahan atau lokasi beserta fasilitas pendukungnya antara lain peralatan pertanian.
2.               Menyediakan tenaga kerja;
3.               Mengatur lahan, tenaga kerja, tanaman sampai panen;
4.               Memasarkan hasil panen untuk konsumsi pasar lokal maupun ekspor;
5.               Menyusun dan mengatur jadwal pelaksanaan pengelolaan lahan dan saat pembersihan lahan, masa pembibitan, masa tanam, masa pemupukan, sampai dengan masa panen;
6. Melakukan pemeliharaan tanaman sejak proses pembibitan sampai masa panen
berakh ir;
7.               Melakukan pekerjaan segera paling lambat 7 (tujuh) han setelah Pihak Kedua
menyetorkan modalnya kepada Pihak pertama (Pengelola).
Kewajiban investor selaku pihak kedua diatur dalam Pasal 4, sebagai berikut:
1.               Memberikan permodalan sesuai biaya investasi dan proposal;
2.               Modal disetor ke pihak pertama paling lambat 7 (tujuh) han setelah peijanjian ditandatangani kedua belah pihak;
3.               Menunjukkan atau mem fax bukti transfer kepada pihak pengelola;
4.               Mengadakan kujungan kekebun terhadap proses pekerjaan yang dilakukan pihak pertama minimal dua kali dalam sebulan untuk mengetahui perkembangan kebun;
Pembagian keuntungan antara investor dengan Aqram diatur dalam Pasal 5 sebagai berikut:
1.               Kedua belah pihak sepakat bahwa pembagian keuntungan diberikan dan basil bersih penjualan dengan ketentuan sebagai berikut:
2.               Pihak pertama 40 % dan basil bersih penjualan dan pihak kedua 60 % ditambah dengan pengembalian modal;
3.               Pembagian keuntungan tersebut merupakan sisa hasil penjualan setelah lebib dahulu ikurangi modal pihak kedua;
4.               Penjualan hasil panen akan dilakukan oleh Pihak pertama yang telah disetujui oleh pihak kedua dan hasil penjualaimya akan ditransfer ke rekening pihak pertama dan pihak kedua setelah diadakan perhitungan pembagian hash;
5.               Pihak Pertama/Pengelola bersedia dikurangi pembagian hasil menjadi 30 % dan penjualan bersih jika tidak memenuhi target produksi seperti pada Proposal.
Mengenai jangka waktu diatur dalam Pasal 6 sebagai berikut:

1.               Dan pengelolaan lahan sampai masa tanam adalah 25 (dua puluh Jima) han kavling;
2.               Masa tanam sampai dengan masa panen untuk misalnya: CABE TM- 999 adalah 90 han;
3.               Pihak Pertama melaksanakan tugasnya segera atau selambat- lambatnya 7 (tujuh) han setelah pihak kedua membenikan permodalan.
Mengenai resiko diatur dalam Pasal 7 sebagai berikut :
1.  Segala resiko yang timbul dalam pembiayaan antara lain kenaikan biaya proses tanam menjadi tanggung jawab penuh pihak pertama dan pihak pertama berhak mensubsidi biaya tanam sampai panen;
2.               Apabila terjadi kerugian yang diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung seperti serangan hama, penjarahan, kesalahan manajemen, kerugian oleh pihak pertama, maka pihak pertama wajib mengembalikan modal yang telah diterima dan pihak kedua tanpa potongan apapun secara tunai selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah terjadi kegagalan atau kerugian;
3.               Sebagai pelaksanaan Pasal 7 ayat 2diatas, pihak pertama memberikan garansi kepada pihak kedua berupa Tanda Bukti Penerimaan Titipan Modal dan pihak kedua yang diterima pihak pertama, yang dapat diambil pada saat yang ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak, seperti tercantum pada Pasal 7 ayat 2;
4.               Pihak pertama menyetujui untuk tidak memperoleh hasil jika hasil penjualan tidak memenuhi pengembalian modal.
                  Kalau terjadi sengketa anatara Aqram dengan investor atau terjadi ingkar janji, maka Pengadilan akan mengadilinya. Pengadilan setelah menemukan peristiwanya, kemudian mencari hukuninya, maka langkah pertama akan mencari sumber hukumnya. Karena masalah mi masalah akad, maka hakim akan mencari hukumnya dan isi perjanjian itu sendiri, kemudian memberikan aki bat hukumnya. Pertama-tama akan dianalisa lebih dahulu akad tersebut dapat dikualifikasi atau kategorikan sebagai akad apa?. Ditinjau dan segi hak dan kewajiban dan masing-masing pihak, serta pembagian keuntungan, maka akad tersebut dapat dikategorikan sebagai akad mudlarabah. Adapun adanya ketentuan Pasal 7 tentang resiko kerugian yang ditanggung oleh Aqram saja meskipun kerugian tersebut bukan kesalahan Aqram, maka syarat mi batal demi hukum (fasid), tetapi akad mudharabahnya sendiri tetap sah serta mempunayai akibat hukumakad mudlarabah. Hal mi berdasarkan pendapat ahli fikih dalam kitab a!-fiqhu al-Islamy wa Addilatuhu jilid IV hal. 848. Tetapi pengadilan Negeri berpendapat bahwa dengan adanya pasal 7 akad tersebut tidak dapat dikategorikan sebagal akad investasi dan tidak juga dikategorikan sebagai akad pinjam meminjam uang. Setelah hakim Agama menemukan bahwa akad tersebut adalah akad mudlarabah, langkah selanjutnya mencari akibat hukumnya. Kasus antara Aqram dan investomya ialah Aqram tidak dapat menanamkan sebagian besar modal yang dikelolanya pada sektor usaha agribisnis, karena melimpahnya modal yang diinvestasikan, tetapi menanamnya di sektor perhubungan. Oleh karena itu ia telah ingkarjanji. Oleh karena akad mudharabah merupakanjenis akad amanah, maka apabila usaha terakhir tersebut untung maka keuntungannya menjadi hak penuh dan investor, tetapi kalau rugi, maka kerugian tersebut harus ditanggung sendiri o!eh AQRAM sepenuhnya. Maka hakim dapat menghukum dengan perintah mengembalikan modal penuh ditambah dengan keuntungan usahanya yang kedua serta biaya administrasi, dan denda yang disyaratkan dalam akad. Kalau usahanya yang kedua berhasil, maka hakim dapat menetapkan bahwa investor berhak untuk menerima ujrah misil.(Pelajari A1-Fiqhi al-Islami waAddilatu IV hal. 857-86 1)


KALKULASI LEGAL RESENING
F X R = C
F : Pakta hukum          R : Norma Hukum         C : Kesimpulan          X : Penaalaran hukum
F
R
C
B
S
B
S
S
B
B
S
S
S
B
S

B : Benar                                                                                                                  S : Salah
Norma Hukum                        Fakta-fakta                  Alat Bukti
                  Unsur 1                             Fakta 1                                    Alat bukti 1
                  Unsur 2                             Fakta 2                                    Alat bukti 2
                  Unsur n                             Fakta n                                    Alat bukti n

                  Akibat-hukum
Norma hukum


    Fakta-fakta

   Alat-alat Bukti
Unsur 1

Fakta 1

Alat bukti 1
Unsur 1 M 1
Fakta 1 M 1
Alat bukti 1 M 1
Unsur 1 M 2
Fakta 1 M 2
Alat bukti 1 M 2
Unsur 2

Fakta 2

Alat bukti 2
Unsur 2
Fakta 2 P
Alat bukti 2 P




   




     Alat bukti 2 P C
Non unsur 2
Fakta 2 D
Alat bukti 2 D




    




      Alat bukti 2 D C
Unsur 3

Fakta 3

Alat Bukti 3
Unsur 3

Fakta 3






BAHAN BACAAN

Abduh Isa, DR. Al- ‘Uqud wa asy-Syar’iyyah. (Kairo : Dar al-I’tisham, 1977
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syari’ah. (Jakarta: Gema Insani, 1977)
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukwn,(Jakarta : Chandra Pratama, 1996)
Asyhadi,Zaini, SH, M.Hum. Hukum Bisnis. (Jakarta : Raja Grafindo, 2005)
Badruzzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. (Bandung : Alumni, 1994)
-----------------Perjanjian Kredit Bank. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991)
Dewi,  Gemala. Wiryaningsih. Yeni Salma Barlinti. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta :Prenada Media Group, 2006)
Djazuli, H.A. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam. (Bandung Kiblat Ummat Press, 2002)
Enright, Christopher. Legal Technique  (Sydney : The Fedration Press, 2002).
Fuadi, Munir, SH, MH, LL.M.Hukum Bisnis. (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 2002)
 ---------------------Hukum Kontrak (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2003)
Imam,  Muhammad Kamaluddin. Nadhariyyatul Fiqhi al-Islami. (Beirut : al-Muassah
llilJami’ah wa Nasyr wa Tauzi’, 1998)
Indonesia, Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. (Jakarta: Sinar Grafika, 2004)
 ---------------Undang-undang Peradilan Agama. Jakarta : (Indonesia Legal Center
Publishing, 2006)
Mahmud, Hammam Muhammad. Al-Madkhal ilal Qanun (‘Nadhariyyah al-
Qanun).(Iskandaria: Mansyaah al-Ma’arif, 2001)
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawl. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. (Jakarta:
          Darul Haq, 2004)
Sa’ad,  Nabil Ibrahim dan Hammam Muhammad Mahmud. al-Mabadik al-A sasasiyyahfi
         al-Qanun. (Iskandariyyah : Mansyaah al-Ma’arif, 2001)
Salam, Moch Faisal.. Pertumbuhan Hukum Bisnis Syari ‘at di Indonesia (Bandung
          Penerbit Pustaka, 2006)
Soemardi, Dedi. Sumber-sumber Hukum Positif (Bandung : Alumn, 1986)
Soeroso, Pengantar ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 1993)
Subekti. Hukum Perfanjian. (Jakarta: Intermasa, 2005)
Suharnoko. Hukum Perjanjian. (Jakarta : Prenada Media, 2005)
Zaidan, ‘Abdul Karim. Al-Madkhal Lidirasati asy-Syari ‘ah al-Islamiyyah.
Az-Zuhali, Wahbah, DR. Al-Fiqhu al-Islam wa Addilatuhu IV dan V. (Beirut Dar al-Fikri, 1989)



[1] Jhon H.Farrar dan Anthony M.Dugdale, Introduction to Legal Methode, (London : Sweet & Maxwel, 1990), hal. 62 – 71.
[2] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 118
[3] Hammam Muhammad Mahmud, al-Madhkal ilal Qanun, (Iskandariyyah : Munsyaah al-Ma’arif, 2001), hal. 124-153,
[4] R.Soeroso, Op.sit. hal.121.
[5] Kaidah mi bersumber dan dna hadits sebagai berikut:
a.Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal,.Apa-apa yang diharamkan oleh Allah adalah haram.Apa-apa
yang didiamkan dirnaafkan.Maka terimalah dan Allah pemaafan-Nya. Sungguh Allah tidak melupakan kasih-Nya kepadamu, maka janganlah kamu perbincangkan, (HR. Daruquthni dan dinyatakan sebagai hadist hasan oleh An-Nawawi)
sesuatupun. (HR alp-Bazar dan at-Thabrani)
b. Sesungguhnya Allah telah niewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia.Allah
telah memberikan batas, maka jangalah kaniu langgar dia. Demikian juga Allah telah mengharamkan
sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia, dan Allah telah membiarkan beberapa ha! sebagai tanda
[6] Abdul Karim Zaidaan  al-Madkhal li Dirasatil Syar’iyyah Islamiyyah, .-.
[7] Prof. Hazairin, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Untuk Versi Pdf  klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar